Oleh Sayed Muhammad Husen

Lamurionline.com--Hidup dalam jamaah muslimin adalah saling melengkapi dan membantu. Saling peduli dan memperhatikan kerabat, saudara dekat dan saudara seiman yang membutuhkan uluran tangan kita. Diantara bentuk bantuan yang dibutuhkan itu: utang. Seorang muslim bisa jadi membutuhkan sejumlah uang atau barang. Sering juga terjadi, kebutuhan itu dalam keadaan mendesak. Sangat membutuhkan.

Karena itu, ada yang berpendapat, utang lebih penting dan banyak pahalanya dibandingkan sedekah. Sedekah memang dibutuhkan oleh fakir miskin, tapi bisa jadi tidak selamanya dalam keadaan mendesak. Sementara jika seseorang meminta utang, hampir dapat dipastikan dia dalam keadaaan sangat membutuhkannya. Tentu saja beda halnya dengan utang bisnis.


Utang bisnis pun merupakan sesuatu yang halal dan dapat dilalukan. Ini transaksi mulamat yang diakui dan diatur oleh Islam. Selain saling membantu tentu saja utang bisnis ini saling menguntungkan. Utang berdampak jangka panjang hingga yaumil akhir, sebab wajib dilunasi. Jika tak mampu melunasi hingga akhir hayat, maka ahli waris wajib melunasinya.

Pada awalnya, utang urusan sederhana. Hanya dibutuhkan kepercayaan dan kejujuran. Namun  akibat perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan dinamika prilaku manusia, hal ini menjadi transaksi yang ribet dan harus dilakukan secara profesional. Misalnya harus melalui lembaga, perlu pengadministrasian dan pengawasan berkelanjutan. Misalnya utang melalui perbankan atau lembaga keungan lainnya. Utang pribadi pun selama ini harus diadministrasikan. 

Menurut Said Yai Ardiansyah Lc MA, Islam adalah agama yang mulia yang telah mengatur seluruh permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di alamnya adalah permasalahan utang-piutang. Islam tidak hanya membolehkan seseorang berutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam berutang.

Adab berutang
Dalam pandangan fikih Islam, hukum asal berutang adalah boleh (jaa-iz). Allah SWT menyebutkan sebagian adab berutang dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman:  “Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian bermu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

Rasulullah Saw pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki utang kepada seorang Yahudi dan hutang itu dibayar dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwasanya dia berkata: “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari Nomor  2200)

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, banyak diantara kita menganggap remeh hal ini. Merasa nyaman dengan utang yang “melilit’ diri. Bahkan, sebagian muslimin dalam hidup ini tidak pernah lepas dari utang. Belum lagi lunas pinjaman atau utang pertama, utang baru baru dibuat lagi. Atau, sering kali melakukan penjadwalan ulang utang di bank (syariah).

Rasulullah Saw sangat takut berhutang dan khawatir jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian? Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah Saw sering berdoa di shalatnya:  Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berutang

Berkatalah seseorang kepada beliau:  “Betapa sering engkau berlindung dari hutang?” Beliau pun menjawab:  “Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berutang, jika dia berbicara, maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari Noomor  832 dan Muslim Nomor  1325/589)

Dampak buruk
Dampak buruk tidak melunasi utang bisa terjadi. Dampak ini tidak hanya di dunia, tapi juga berkonsekuensi akhirat. Di dunia seseorang akan dimusuhi, dianggap tak jujur, hilang kepercayaan atau bahkan bisa berurusan dengan penegak hukum. Sementara dampak di akhirat dapat dilihat dari petunjuk Rasululah Saw berikut ini:

Pertama, tidak dishalati. Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ ra, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk disisi Rasulullah Saw, kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya utang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.

Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.

Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya utang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalianKemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Utangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari Nomor  2289)

Dalam hal ini, Rasulullah Saw tidak mau menshalati orang yang punya utang. Ini bentuk pengajaran beliau untuk membiasakan sesorang berutang sementara dia tidak mampu melunansinya. Karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan kita semua melakukan hal seperti ini, bahwa ketika ada orang meninggal dan memiliki tanggungan utang, kita ingatkan ahli warisnya supaya segera melunasinya. Tentu saja hal ini sudah dipraktekkan dalam masyarakat Aceh.

Kedua, dosa tidak diampuni. Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra dari Rasulullah Saw bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: “Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?” Beliau pun menjawab: “Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali utang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim Nomor 4880/1885)

Hadits ini menjelaskan, ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.

Ketiga, titahan tidak masuk surga. Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah Saw bersabda:  “Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan utang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi Nomor  1572, Ibnu Majah Nomor  2412)

Lihatlah betapa pentingnya melunasi utang, sebab terkait dengan kebebasan seseorang memasuki surga atau sebaliknya akibat utang masuk neraka. Karena itu, berutang yang dibolehkan dalam syariat Islam harus dilakukan dengan penuh perhitungan terhadap kemampuan mengembalikannya. Jika itu utang bisnis pada bank (syariah), maka diperlukan keterampilan mengelolanya, sehingga resiko gagal lebih kecil. Jadi marilah berutang dan pastikan utang itu terbayar. Lunasilah utangmu!    
SHARE :
 
Top