Lamurionline.com--Tayangan-tayangan dari televisi kabel di sejumlah kawasan pedesaan, pedalaman, dan perbatasan—yang umumnya dikelola secara ilegal—lebih ‘mengerikan’ tema dan muatan pornografinya
![]() |
Tayangan-tayangan dari televisi kabel di sejumlah kawasan pedesaan dan pedalaman, lebih ‘mengerikan’ dengan muatan pornografi tanpa ada pengawasan [ilustrasi] |
oleh: Muh. Nurhidayat
PADA tahun 2012 – 2013 melaksanakan riset yang disponsori Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, untuk meneliti tentang bahaya pornografi televisi.
Laporan sejumlah situs berita online berpengaruh di Indonesia—yang telah diamati penulis—membuat kita cemas. Selama 2008 hingga 2014, terdapat 11 kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak SD, yang terjadi di 11 kota. Jumlah pelakunya ada 23 anak laki-laki, yang sebagian besar kasus berupa pemerkosaan secara bergilir. Korbannya ada 11 anak perempuan, masing-masing adalah 3 murid TK, 7 murid SD, dan 1 siswi SMP.
Pada 2013 – 2014, terdapat 15 kasus pemerkosaan oleh siswa SMP, terjadi di 12 kota. Jumlah pelakunya adalah 54 anak (sebagian besar kasus juga berupa pemerkosaan secara bergilir). Adapun jumlah korbannya 15 anak perempuan, yang terdiri atas 4 murid SD, 10 siswi SMP, dan 1 siswi SMA. Dari kelima belas kasus tersebut, 3 kasus dianggap paling brutal karena dilakukan secara bergilir masing-masing oleh 8 orang, 9 orang, bahkan 11 orang siswa SMP.
Sementara itu, selama 2013 – 2014 terdapat 2 kasus percobaan pemerkosaan oleh siswa SMP yang berhasil digagalkan oleh masyarakat, yang melibatkan 5 pelaku, 2 korban (semuanya siswi SMP), yang terjadi di 2 kota.
Besar kemungkinan, jumlah kasus kejahatan seksual oleh anak di bawah umur sebenarnya jauh lebih banyak lagi. Sebab tidak semuanya berhasil diliput situs berita online berpengaruh—yanag diamati penulis. Lagipula, tidak sedikit kasus kejahatan seksual anak di bawah umur cenderung ditutup-tutupi karena korban dan keluarganya malu jika diketahui masyarakat. Seperti yang terjadi di Manado, seorang anak SMP berumur 14 tahun beberapa kali memperkosa anak perempuan berusia 13 tahun. Kejahatan itu terungkap setelah korban diketahui hamil lima bulan. Masalah sosial ini ibarat gunung es, sedikit yang terungkap, namun ternyata saangat banayak yang tidak terungkap.
Dari semua kasus di atas, semua pelaku mengatakan bahwa kejahatan yang mereka lakukan terjadi setelah tidak kuat menahan pengaruh pornografi di layar kaca, baik melalui siaran televisi maupun internet.
Meskipun televisi menghadapi internet sebagai pesaing kuatnya, namun hingga kini siaran audio-visual yang mulai populer pasca perang dunia ke-2 ini tetap eksis dan ditonton banyak khalayak. Salah satu strategi stasiun televisi hiburan agar tetap menarik minat khalayak adalah dengan menayangkan pornografi. Konten kecabulan telah disuguhkan pada hampir semua program siaran televisi komersial, mulai dari musik, sinetron, film dari layar lebar, komedi, talkshow, reality show, infotainmen, bahkan siaran berita serta film kartun (untuk anak-anak).
Pada sebagian televisi lokal, pornografi (klip musik dangdut koplo) adalah cara gampang untuk menarik jumlah penonton. Belum lagi maraknya televisi kabel ilegal semakin sulit bagi kita mengawasi adanya tayangan tidak senonoh tersebut.
Berdasarkan wawancara penulis dengan sejumlah remaja—yang menjadi responden penelitian penulis, diperoleh informasi bahwa anak laki-laki berumur 10 hingga 15 tahun senang menonton televisi bukan karena tema tayangannya, melainkan ada konten pornografi di dalamnya. Seperti infotainmen yang identik dengan tayangan kegemaran perempuan, ternyata banyak ditonton anak laki-laki remaja, karena sering—bahkan selalu—menampilkan selebritis dan host perempuan berpakaian minim.
Banyak orang tua tidak mendampingi atau menonton televisi bersama anak-anak mereka, terutama anak yang berstatus anak baru gede (ABG). Padahal di usia remaja tersebut para ABG membutuhkan banyak bimbingan intensif tentang tontonan layar kaca. Akibat kurangnya perhatian orangtua dan besarnya ‘serangan’ pornografi, tidak sedikit remaja yang menunjukkan perilaku agresif secara seksual, mulai dari pengungkapan kata-kata vulgar, ekshibionisme penampilan, pelecehan seksual kepada teman, pergaulan bebas, hingga pemerkosaan.
Pakar komunikasi Universitas Diponegoro, Sunarto (2009) menegaskan bahwa pornografi merupakan bagian dari kekerasan seksual, karena gambaran material seksual yang ditampilkannya mampu mendorong terjadinya pemaksaan dan perendahan seksual.
Anak-anak dan remaja merupakan khalayak yang masih labil dan pasif—secara akal. Sehingga, Sunarto juga menegaskan bahwa pengaruh pornografi bagi khalayak pasif seperti ‘kerbau yang dicocok hidungnya’ oleh media, mereka mengikuti apa saja yang dimaui media. (Darmastuti & Junaedi, 2012)
Pornografi televisi di Indonesia sudah sangat parah. Sebagai perbandingan, AS yang dikenal sebagai negara liberal, tayangan televisinya tidak sevulgar Indonesia. Kalaupun ada tayangan porno, itu hanya di televisi kabel sehingga tidak semua orang dapat menyaksikannya. (Al Mukaffi, 2002)
Memang di Indonesia orang bebas saja berlangganan, bahkan mendirikan bisnis televisi kabel yang ilegal sekalipun. Sehingga pengelola bebas menyalurkan siaran-siaran layar kaca dalam dan luar negeri tanpa pengawasan. Mereka hanya berfikir menarik keungtungan materi dari iuran bulanan pelanggan, tanpa memikirkan dampak buruk yang diterima pelanggan dari tayangan-tayangan bermasalah tersebut.
Penulis mengamati, tayangan-tayangan dari televisi kabel di sejumlah kawasan pedesaan, pedalaman, dan perbatasan—yang umumnya dikelola secara ilegal—lebih ‘mengerikan’ tema dan muatan pornografinya daripada televisi kabel di perkotaan. Padahal secara psiko-sosial, khalayak di pedesaaan bahkan pedalaman lebih tidak siap menghadapi ‘serangan’ porografi daripada khalayak di perkotaan.
Kuatnya Pengaruh Televisi
Tayangan televisi yang bermuatan cinta, pergaulan bebas, pemerkosaan, serta menampilkan pakaian yang super ketat mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan remaja. Banyaknya (kasus) hamil pra nikah, pacaran, pelecehan seksual, pergaulan bebas, maraknya pakaian ketat dan minim adalah fakta yang tak terbantahkan lagi. Remaja semakin latah terhadap tayangan televisi yang seperti ini karena dianggapnya sebagai buah modernisasi. (Al Khudri, 2005)
Kritikan atas tayangan pornografi pada televisi pada dasarnya telah lama dilakukan para peneliti, lebih tepatnya sejak media massa audio visual itu ngetrend pertama kali di negara yang pertama kali menyiarkan televisi, Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan peneliti Kalis & Neuendorf, bahwa tayangan bernuansa seks dan kekerasan di televisi telah menuai kritikan sejak tahun 1950-an. (Mc.Clelland dalam Creedor & Cramer, 1993)
Pada tahun 1954, Lembaga Senat AS telah mendengar banyaknya laporan tentang dampak negatif tayangan kekerasan televisi terhadap kenakalan remaja dan anak-anak di bawah umur. Pada 1972, Jawatan Kesehatan Masyarakat AS mempublikasikan hasil penelitian tentang pengaruh televisi terhadap perilaku sosial masyarakat. (Straubhaar dkk., 2012)
Begitu kuatnya pengaruh negatif televisi bagi anak-anak dan remaja yang tergolong pemirsa labil, hingga pakar komunikasi berkebangsaan Inggris, Denis Mc.Quail (2011) menegaskan, “Ada kepercayaan yang hampir pasti bahwa media massa merupakan alat yang kuat dalam membentuk opini serta efek dalam perilaku,”
Penegasan Mc.Quail didasarkan atas pemikiran penggagas teori belajar sosial, Albert Bandura yang menyatakan, “Manusia akan melakukan kekerasan jika banyak disuguhi tayangan kekerasan,” (West & Turner, 2010). Bandura juga mengungkapkan bahwa media dapat memiliki efek langsung terhadap orang-orang dan pengaruhnya tidak harus diperantarai oleh pengaruh pribadi atau jejaring sosial. (Mc.Quail, 2011)
Tidak sedikit kalangan yang hanya memandang internet sebagai penyedia pornografi yang berdampak buruk bagi remaja. Padahal selain internet, televisi tanpa disadari telah menjadi salah satu ‘penyumbang’ pikiran ngeres kepada calan penerus bangsa. Memang sepintas siaran-siaran layar kaca komersial tidak terlihat berbahaya dalam hal pornografi. Tapi kepekaan terhadap bahaya latennya harus tetap ada..
Salah satu yang membutuhkan kepekaan kita adalah tayangan iklan. Bukankah televisi komersial banyak menampilkan wanita-wanita cantik berpakaian minim dalam berbagai iklan? Bahkan sebagai pengingat, ada iklan produk khusus—hanya untuk—wanita yang menampilkan model berjilbab mini dengan pakaian dan celana super ketat, yang bergaya menampakkan auratnya. Padahal dengan seringnya iklan itu tampil, banyak remaja yang tergoda hingga sampai mencari pelampiasan pandangan ngeres tingkat lanjutannya di internet.
Dengan demikian, pada dasarnya para remaja merupakan korban kejahatan struktural bidang pertelevisian kita, yang tidak mampu membendung sekecil apapun tayangan pornografi layar kaca. Namun sekecil apapun bentuknya, pornografi telah melunturkan keluhuran akhlaq remaja.
Melarang pengelola televisi untuk tidak menayangkan pornografi—apalagi kecabulan dalam iklan adalah hal yang mustahil saat ini. Sebab iklan adalah ‘makanan pokok’ untuk kelangsungan hidup televisi. Selain itu, akan ada alasan dari pengelola televisi bahwa mereka tidak dapat menolak kemauan pemasang iklan. Dan akan ada alasan pemasang iklan bahwa sulit menjadikan—maaf—orang lansia sebagai modelnya, lha wong yang diiklankan adalah berbagai macam produk ‘penunda’ tanda-tanda tua.
Cara efektif menghindarkan remaja dari pornografi televisi adalah dengan mengalihkan perhatian mereka untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan televisi. Banyak caranya seperti mengajak mereka aktif dalam organisasi (OSIS, PMR, pramuka, kepanduan, karang taruna, rohis, remaja masjid), olahraga, penelitian (KIR), penguasaan mata pelajaran (calon peserta—bahkan pemenang—olimpiade sains), penghafalan Al Quran (bisa via ‘kopi darat’ maupun online), atau aktif dalam bidang jurnalistik (bisa menjadi kontributor berita untuk media massa online).
Tanpa disadari, remaja Indonesia sudah banyak dan lama menderita ruhiyah-nya karena ‘serangan’ pornografi. Menyelamatkan mereka dengan berbagai cara yang cerdas dan diridhai-Nya perlu terus dilakukan. Remaja adalah penerus kelanjutan bangsa bahkan peradaban dunia kita. Maka sudah sepantasnya kita senantiasa berdoa dengan kalimat yang dicontohkan dalam Al Qur’an, “Dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami (sebagai) umat yang tunduk patuh kepada Engkau…,” (QS. 2 : 128).
Remaja sebagai anak-cucu di masa depan dapat tunduk patuh kepada-Nya, jika mereka terhindar dari berbagai macam ‘penyakit’ ruhiyah, yang salah satunya adalah pornografi. Wallahua’lam.*
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2015/12/03/84505/pornografi-layar-kaca-dan-derita-remaja-indonesia.html