Oleh Dr. Sri Suyanta Harsa, MAg
Dosen FTK UIN Ar-Raniry 

Ilustrasi
Muhasabah 5 Zulkaidah 1440
Saudaraku, tema muhasabah hari ini masih menyambung merenungi sekaligus mensyukuri karunia Allah yang dicurahkan kepada hamba-hambaNya, yakni kelembutan hati.

Kelembutan hati merefleksi pada perilakunya yang sopan, tutur kata yang santun, memiliki sensitifitas tinggi, berperasaan, mudah trenyuh atau terharu dan menaruh simpati juga empati yang besar pada sesamanya. 

Semua orang sejatinya memiliki potensi berhati lembut, tetapi seringkali pada orang-orang tertentu karena tidak terasah sehingga tidak mewujud dalam perilakunya. Bila seseorang dianugrahi hati yang lembut setelah proses pencapaiannya dilakukan dengan olah rasa yang sangat intensif, maka akan mewujud dalam perilakunya yang mengundang pesona daya tarik tersendiri. Orang-orang inilah yang kehadirannya dinanti-nanti, sejuk menyejukkan, damai mendamaikan, sukanya memudahkan atau meringankan beban sesamanya, sensitif dengan penderitaan orang lain dan berusaha membatu atau memberi solusi.

Begitulah Allah yang dalam asmaul husnaNya disebut sebagai Al-Lathiif dan Al-Haliim menurunkan kasih sayangNya berupa kelembutan hati, kehalusan budi pekerti dan sikap welas asih  kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya di dunia ini. 

Al-Lathiif secara umum dipahami bahwa Allah adalah zat yang maha lembut, Allah maha halus, Allah maha sensitif, Allah maha peka terhadap permohonan atau persoalan atau keadaan dan perilaku hamba-hambaNya.

Allah berfirman yang maknanya bahwa Allah maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezeki kepada yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa (Qs. Al-Syura 19)

Di ayat lain Allah juga berfirman yang maknanya, apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Qs. Al-HAjj  63)

Bukan saja peka terhadap keperluan dan rezeki hamba-hambaNya, kemahahalusan Allah juga menjangkau seluruh niat dan perilaku hamba-hambaNya sekecil apapun juga. (Lukman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Qs Lukman 16)

Adapun Allah sebagai Al-Haliim dimaknai Allah Maha Penyantun. Dalam hal ini kita meyakini bahwa Allah maha penyantun terhadap makhlukNya, tetap welas asih terhadap hamba-hambaNya; Allah senantiasa menolong hamba-hambaNya, memahami isi hatinya, memenuhi kebutuhan untuk hidupnya dengan sunnatullahNya. 

Dalam konteks kelemahan manusia yang seing salah dan lupa, misalnya, seberapapun dosa dan kesalahan yang telah dilakukan hambaNya tidak segera dibalasiNya dengan siksa, apalagi kemudian ianya bertaubat. Mengapa? Di antaranya, karena Allah itu Al-Haliim, Allah yang maha penyantun. Oleh karenanya, ketika kita berbuat salah sehingga berdosa jangan berketerusan, meskipun tidak atau belum dibalasi dengan keburukan atau siksa oleh Allah. Maka, hendaknya bersegera melakukan taubat nasuha. 

Allah berfirman yang artinya, Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Qs Al-Baqarah: 235)

Demikian juga pada ayat lain yang maknanya, Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Qs. Al-Israa' 44)

Allah Maha Penyantun; Maha Baik kepada hambaNya; maha welas asih kepada sesiapapun yang berbuat salah sekalipun; maha mengampuni hambaNya yang bertaubat. Allah juga maha sabar sehingga tidak bersegera membalasi kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat, seraya menunggu pertaubatan kita. 

Inilah betapa indahnya tampil menjadi pribadi yang penyantun, di antaranya berusaha menjadi orang yang baik budi bahasa dan tingkah lakunya; tidak mudah menghakimi orang lain; menjadi orang yang sopan; orang yang suka menaruh belas kasihan; orang yang suka menolong, membantu sesamanya, dan memperhatikan kepentingan orang lain. Saudaraku, bila seperti ini adanya, maka tidak ada yang pantas kita sikapi, kecuali mensykurinya baik dengan hati, lisan maupun perbuatan nyata.

Pertama, mensyukuri di hati yakni meyakini sepenuhnya bahwa Allah maha lembut atas hamba-hambaNya. Allah sangat peka terhadap kesulitan, keadaan, keinginan, permohonan dan perilaku kita. Bila Allah maha lembut, maka kita hamba-hambaNya juga memohon agar dikaruniai kelembutan hati.

Kedua, mensyukuri dengan lisan, seraya terus memujiNya dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin, agar Allah menjadikan hati kita lembut tidak keras membatu, sehingga dimudahkan oleh Allah untuk menerima, memahami dan mengamalkan tuntunanNya.

Ketiga, mensyukuri dengan tindakan nyata yaitu berusaha menjadi orang berhati lembut, berpikiran jernih, berperilaku sopan juga santun dan memiliki kepedulian terhadap sesamanya.

Maka zikir untuk pengkodisian hati agar Allah menganugrahi kelembutan hati adalah membasahi lisan dengan Allah ya Lathif, Allah ya Haliim, Allah ya Lathif, Allah ya Haliim, Allah ya Lathif, Allah ya Haliim. 
SHARE :
 
Top