Oleh Sri Suyanta Harsa

sumber ilustrasi: merdeka.com
Muhasabah 26 Syawal 1441
Saudaraku, sebagai tuntutan kemanusiaan, tuntunan kemuliaan dan tatanan peradaban, maka silaturahim dan silaturahmi terus dikaji, didiskusikan dan dipraktikkan  antar generasi. Bermaksud melanjutkan muhasabah yang baru lalu, maka tema muhasabah kali ini akan melihat bagaimana silaturahim edukatif di institusi pendidikan formal disaat pandemi yang dilakukan dengan daring, sehingga tidak ada tatap muka.

Lantaran masih dalam "jebakan" covid 19, silaturahim akademik terutama secara konvensional melalui perkuliahan tatap muka di institusi pendidikan formal di kampus-kampus, proses belajar mengajar secara langsung di kelas-kelas madrasah atau sekolah sampai saat ini juga belum dapat dilakukan. Tentu, hal ini berpengaruh terhadap intensitas silaturahim akademik para pihak, terutama antara pendidik dan peserta didik. Betapapun sudah diupayakan, namun keterbatasan sana-sini relatif sangat terasa. 

Karena realitas yang tersedia di masyarakat kita, secara umum belum semua mahasiswa atau siswa di tanah air yang beragam latar belakang kehidupan familiar dengan teknologi informasi, hp, wa, zoom meeting, teleconference atau lainnya. Di antaranya, ada mahasiswa dan siswa yang tinggal di pelosok-pelosok desa atau daerah pegunungan yang sering sekali tak tersedia akses teknologi informasi. Bahkan jangankan akses internet yang juga sering menjadi kendala bagi sebagian mahasiswa atau siswa di desa atau kota sekalipun, listrik pun ada yang juga belum sampai. Belum lagi keragaman tingkat kemampuan sosial ekonomi yang dalam hal ini misalnya penyediaan hp, gadget, laptop berikut paket pulsa atau paket data internetnya, serta keragaman tingkat kemampuan menggunakannya.

Pengalaman subyektif saya dalam menunaikan kewajiban melakukan proses belajar mengajar secara daring selama ini, hanya dapat diikuti oleh 30% sampai 50% mahasiswa, selebihnya mengalami masalah di antara realitas di atas. Ini baru tingkat keikutsertaannya, belum mencermati tingkat interaksi edukatifnya. Dan ini terjadi pada tingkat pendidikan tinggi yang relatif "dekat" dengan teknologi informasi. Lalu, pada tingkat sekolah atau madrasah kira-kira hipotesisnya lebih kurang sama atau malah lebih rendah lagi.

Karena, bagaimanapun silaturahim atau tepatnya interaksi edukatif akan lebih berkesan mendalam saat bertemu secara langsung dalam proses belajar mengajar tatap muka di kelas-kelas belajar. Meski konvensional, mahasiswa atau siswa bisa berinteraksi secara langsung sejak mula pembelajaran dimulai, menyaksikan bagaimana dosen atau guru memasuki kelas dengan santun seraya menyampaikan salam kemuliaan "assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu", memperhatikan sikapnya saat duduk menyiapkan bahan ajar, saat memulai melakukan apersepsi membuka pembelajaran baru, bagaimana mengelola kelas, bagaimana menyampaikan materi ajar dan mendiskusikannya, bagaimana memberikan penguatan sampai dosen atau guru mengakhiri pembelajaran, salam dan meninggalkan kelas belajar.

Dengan demikian interaksi edukatif tidak terbatas pada penerimaan ilmu pengetahuan dari penjelasan dosen atau guru saja, tetapi juga keterampilan dan yang paling penting adalah sikap dan keteladanannya, seperti kerapiannya, kedisiplinannya, kreativitasnya, kesederhanaannya, kesantunannya, kearifannya, keikhlasannya dan ketawadhukannya. Dan ini semua "live" atau "hidup" atau nyata dan bisa disaksikan dan dirasakan saat bertatap muka saja. 

Belum lagi silaturahmi hari-hari sebagai interaksi edukatif yang diraih saat "hidup bersama" dengan sesama temannya yang sangat beragam latar belakang sosial ekonomi, dan sosial budaya yang ada pada keluarganya masing-masing. Dan ini juga live, sehingga nenyediakan suasana bagi kecerdasan sosial dan emosionalnya terasah satu sama lainnya.

Kenyataan itu semua semoga menjadi ibrah bagi semua pihak untuk taubat jama'i dengan terus berbenah meraih maslahah dan berdoa bermunajat pada Allah agar segera membebaskan bumi ini dari pandemi. Aamiin ya Rabb.

Editor: smh
SHARE :
 
Top