Oleh : Hadi Irfandi

Mengapa berbagai gerakan pengembangan diri seperti "high value male", "independent woman", atau semboyan seperti "work in silence" yang kini ramai digaungkan, termasuk juga kampanye literasi, tak kunjung memberikan dampak nyata terhadap kemajuan umat Islam? Padahal, sejarah mencatat, Rasulullah saw. dan para Sahabat ra. hanya berbekal akidah Islam mampu membangkitkan peradaban dunia dengan akhlak dan ilmu. Pertanyaannya bukan soal kurangnya semangat, tapi tentang arah dan makna di balik gerakan itu.

Gerakan pengembangan diri hari ini memang tampak atraktif, penuh motivasi, bahkan kadang dibungkus narasi spiritual. Namun realitanya, tak sedikit yang terjebak dalam semangat duniawi belaka. Mereka mengejar produktivitas bukan untuk mengabdi, tetapi untuk prestise. Membaca bukan untuk memahami hidup, tapi untuk mendongkrak gengsi intelektual. Belajar hanya demi karier, bukan demi kebenaran. Maka dari itu, kita perlu membedah akar persoalan ini: untuk apa sebenarnya manusia belajar dan memperbaiki diri?

Untuk apa ilmu (menurut) Islam?

Sebelum masuk lebih jauh, penting untuk memahami apa itu aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai, tujuan, dan manfaat dari ilmu. Sejarah dan realita menunjukkan, ada dua orientasi utama dalam mencari ilmu. Pertama, mereka yang belajar demi kelangsungan kelompok, bahkan bisa mengantar pada kekuasaan. Kelompok ini memanfaatkan ilmu sebagai strategi dominasi. Kedua, ada kelompok kecil yang menekuni ilmu demi ilmu itu sendiri, tanpa pamrih. Bukan untuk jabatan, bukan untuk kekayaan. Filosofi mereka: science for science.

Sedangkan menurut Islam, aksiologi bukan sekadar alat untuk menakar untung-rugi duniawi, melainkan menjadi panduan atas nilai-nilai yang mengakar pada wahyu.

Seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA dalam bukunya Filsafat Ilmu dalam Perspektif Islam, ilmu dalam pandangan Islam adalah sarana untuk mengenal Allah dan mengabdi kepada-Nya. Maka motivasi seseorang dalam belajar tidak berhenti pada soal posisi, materi, atau status sosial, melainkan lebih jauh lagi: untuk menunaikan amanah keilmuan sebagai jalan menuju kemuliaan di sisi Tuhan.

Islam menyaring kedua motif tadi lewat nilai-nilai ruhani. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat Al-Alaq (1-5) bagaimana wahyu pertama yang turun justru menyerukan membaca dengan menyebut nama Tuhan. Artinya, aktivitas intelektual pun harus dibimbing oleh tauhid.

Lebih lanjut, dalam Surat At-Taubah: 122, Allah menegur mereka yang hanya fokus pada aksi militer namun melupakan pentingnya ilmu agama:

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Asbabun nuzul ayat ini menjelaskan bahwa ada yang meremehkan orang-orang yang tidak ikut jihad karena memilih mengajar di padang pasir. Tapi Allah justru mengafirmasi pentingnya peran mereka dalam menjaga keberlangsungan ilmu.

Jika cukup teliti, kedua ayat diatas tidak tertera seruan untuk berkuasa atau mengumpulkan pundi pundi rupiah.

Pinang dibelah dua itu bernama Ilmu dan Ketakwaan

Kalaupun Islam membolehkan umatnya bersiaga dengan kekuatan senjata, seperti termaktub dalam Al-Anfal: 60, itu semata-mata agar musuh segan dan tidak mengganggu. Bukan untuk ekspansi atau ambisi duniawi. Dengan demikian, ilmu dan kekuatan dalam Islam diarahkan untuk menjaga, bukan menjajah.

Itulah mengapa Al-Qur’an tidak cukup hanya dijadikan tempat mencari jawaban fikih. Ia adalah petunjuk hidup yang menanamkan nilai zuhud, rendah hati, dan kesadaran akan hidup sesudah mati. Sebab, ilmu tanpa iman ibarat pelita di tangan pencuri: terang, tapi mencelakakan.

Kita Aceh memiliki petuah yang agung dalam Hadih Maja:

“Beuet ureueng malĂ©m, hareukat ureueng kaya."

Artinya, yang bersungguh-sungguh mencari ilmu, akan menjadi pandai. Yang bersungguh-sungguh mencari harta, akan menjadi kaya. Namun, menjadi pandai dalam Islam bukan sekadar memiliki ilmu, tapi juga menggunakan ilmu itu untuk memberi manfaat dan mendekatkan diri kepada Allah.

Konsep Zuhud yang kini asing

Kegagalan gerakan self improvement hari ini terletak pada orientasinya yang sempit. Semua diarahkan untuk dunia: tampil percaya diri, produktif, kaya, sukses. Tapi tidak satu pun yang memuat nilai zuhud, tidak ada penjelasan soal tujuan akhir hidup, tidak ada sistem nilai yang membimbing manusia setelah mati. Mereka bisa bicara tentang growth mindset, tapi tak sanggup menjawab mengapa manusia diciptakan.

Jika ilmu hanya dijadikan alat untuk meraih uang dan status, maka yang lahir adalah manusia-manusia materialistik. Seperti dijelaskan dalam pandangan filsafat materialisme, standar kebaikan hanyalah apa yang memberi manfaat materi. Maka hidup dijalani tanpa kesadaran ibadah, dan ilmu hanya menjadi alat untuk mengejar nikmat jasmani. 

Fatalnya, materialisme menolak percaya kejadian apapun setelah nyawa selesai meninggalkan jasad anak Adam. Artinya, manusia —menurut mereka itu sederajat dengan hewan. Tanpa hisab, tanpa pertanyaan pertanggung jawaban.

"Woe, meutuah!" : Mari Kembali ke Akar

Gerakan pengembangan diri yang benar seharusnya lahir dari kesadaran bahwa hidup ini punya tujuan akhir. Bahwa memperbaiki diri bukan sekadar untuk “menjadi versi terbaik” dari diri kita, tetapi untuk menjadi hamba terbaik di hadapan-Nya. Literasi yang sejati bukan sekadar menambah bacaan, tetapi ikut mengimani dan mengamini peristiwa ghaib yang hanya diketahui oleh manusia lewat perantaraan wahyu wahyu Rabb nya. Produktivitas bukan hanya tentang jadwal padat, tapi tentang keberkahan waktu.

Sudah saatnya kita menata ulang arah gerakan pengembangan diri umat Islam. Jangan biarkan ilmu menjadi kosong dari nilai. Jangan biarkan akal bekerja sendiri tanpa cahaya wahyu. Kembalikan aksiologi ilmu kepada fitrahnya: sebagai jalan menuju takwa dan peradaban.

Kita butuh lebih dari sekadar orang cerdas dan kaya. Kita butuh manusia-manusia berilmu yang sadar diri, sadar akhirat, dan sadar bahwa sebaik-baiknya pengembangan diri adalah yang mengantarkan kita pada pengabdian kepada Sang Pencipta.

Penulis lepas di LamuriOnline, Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top