Oleh: Syahrati, S. HI., M. Si 

Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bireuen

Fenomena akademisi bergelar doktor yang memilih menjadi penyuluh agama terkadang menimbulkan pandangan miring. Seolah, menjadi penyuluh langkah “turun gunung” dari dunia intelektual. Pandangan semacam ini perlu diluruskan, karena mengandung bias pemahaman tentang nilai pengabdian dan hakikat ilmu.

Kita hidup di zaman ketika ilmu tidak hanya dibutuhkan di ruang-ruang kuliah, tetapi juga di jalan-jalan kampung, di rumah tangga yang sedang rapuh, pada remaja yang kehilangan arah, serta di masyarakat yang haus akan nilai dan akhlak. Di sinilah peran penyuluh agama menemukan makna sejatinya.

Penyuluh dan dosen bukanlah dua entitas yang perlu diperbandingkan dari sisi tinggi rendahnya. Keduanya pelayan ilmu. Dosen memuliakan ilmu lewat riset dan pengajaran terstruktur; penyuluh memuliakan ilmu dengan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari umat. Satu memperkuat bangunan logika berpikir, yang lain memperhalus bangunan nurani sosial.

Meski secara administratif penyuluh hanya disyaratkan memiliki pendidikan minimal S1, namun peran dan kapasitasnya jauh melebihi angka-angka akademik. Banyak penyuluh yang berlatar belakang S2 bahkan S3, tetapi tetap memilih jalan ini sebagai bentuk pengabdian langsung ke masyarakat. Sebuah pilihan yang mencerminkan kerendahan hati dan keikhlasan dalam menyebar manfaat.

Membandingkan besaran honor atau fasilitas juga bukan hal yang relevan. Dunia pengabdian sejatinya bukanlah kompetisi ekonomi, tetapi ikhtiar kolektif membawa kebaikan. Penyuluh bekerja dengan semangat dakwah, dengan ketulusan yang sering kali tak tercatat dalam angka, tetapi membekas dalam perubahan sosial.

Sudah saatnya kita berhenti mengukur pengabdian dari tempat seseorang berdiri, melainkan dari sejauh mana ia mampu berjalan bersama umat. Mari kita hargai setiap profesi yang bekerja untuk peradaban, tanpa saling merendahkan. Karena sesungguhnya, ilmu yang paling tinggi adalah ilmu yang merendah dan membumi.

Penjaga Nilai di Garis Terdepan

Penyuluh agama sosok yang hadir di tengah masyarakat untuk menjadi pendamping spiritual, motivator moral, sekaligus fasilitator sosial. Mereka hadir tidak sekadar membawa pesan agama, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dalam kehidupan sehari-hari.

Penyuluh berbicara dalam bahasa masyarakat, menyesuaikan pendekatan dengan kebutuhan lokal, dan sering kali menjadi rujukan dalam urusan keluarga, anak, remaja, hingga urusan sosial yang pelik. Mereka hadir di masjid, meunasah, balai desa, sekolah, bahkan rumah-rumah masyarakat. Dalam senyap, mereka menjadi peredam konflik, penjaga kerukunan, dan sahabat masyarakat.

Program kerja mereka tak sekadar ceramah. Ada edukasi stunting, pencegahan pernikahan anak, pembinaan calon pengantin, pemberdayaan ekonomi umat, moderasi beragama, advokasi halal, hingga pendampingan masyarakat rentan. Banyak penyuluh yang menggunakan pendekatan kreatif seperti role play, simulasi, hingga media digital. Meskipun kerap bekerja di balik layar, dampaknya nyata bahkan lebih dekat ke akar masalah dibanding lembaga-lembaga formal sekalipun.

Dengan keikhlasan, mereka menjembatani nilai agama dengan problem sosial. Dengan kesederhanaan, mereka menjadi pelita yang menerangi jalan perubahan. Karena itu, wajar saja bila seorang doktor pun merasa bangga saat mengenakan jaket penyuluh, bukan sebagai penurunan status, tetapi sebagai penguatan makna pengabdian.

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top