Oleh: Syahrati, S. HI., M. Si.
Penyuluh Agama Islam Bireuen
Setelah puncak Idul Adha pada 10 Dzulhijjah, gema takbir tidak serta-merta berhenti. Ia terus berkumandang hingga Hari Tasyrik berakhir pada 13 Dzulhijjah, mengiringi kaum muslimin menjalani hari-hari istimewa yang sering kali luput dari perhatian. Hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) memiliki kedudukan yang agung dalam Islam. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa hari-hari tersebut adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah. Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa Islam memberikan tempat yang mulia bahkan kepada aktivitas duniawi seperti makan dan minum jika dilakukan dengan kesadaran dan niat yang benar.Asal-usul penyebutan Hari Tasyrik berakar dari tradisi masyarakat Arab tempo dulu dalam mengolah daging qurban. Kata tasyrik secara bahasa berarti “menjemur di bawah matahari”. Pada masa itu, daging qurban yang melimpah dikeringkan di bawah terik matahari agar bisa diawetkan. Proses ini disebut tasyriq al-lahm. Maka hari-hari setelah penyembelihan qurban disebut dengan “Hari Tasyrik”. Tradisi ini kemudian menjadi bagian dari syariat dalam Islam yang menunjukkan betapa ajaran ini lahir dari realitas sosial yang dibimbing wahyu.
Dalam praktik ibadah, Hari Tasyrik memiliki keistimewaan tersendiri. Ia menjadi lanjutan dari suasana Idul Adha, hingga Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari-hari ini. Dalam hadits riwayat An-Nasa’i, disebutkan, “Hari Arafah, hari Nahr (10 Dzulhijjah), dan hari-hari Tasyrik adalah hari raya bagi kita umat Islam, dan itu adalah hari-hari makan dan minum.” Larangan ini bukan tanpa makna. Ia mengajarkan bahwa dalam Islam ada waktu-waktu tertentu di mana kebahagiaan dan kenikmatan hidup harus disambut dengan syukur dan tidak boleh dirusak oleh praktik yang bertentangan dengan semangat hari raya, seperti berpuasa.
Justru pada Hari Tasyrik, aktivitas makan dan minum dianjurkan sebagai bentuk syukur kepada Allah. Bukan hanya itu, makan dan minum bisa berpahala jika disertai dengan niat yang baik. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka menyantap hidangan, menyuapi anak, menyiapkan makanan untuk orang tua, atau menghidangkan makanan bagi tamu bisa menjadi ladang amal jika diniatkan karena Allah.
Islam menjadikan perkara yang sangat manusiawi seperti makan dan minum sebagai jalan menuju ridha-Nya. Dengan niat yang benar, makan tidak hanya mengisi perut, tetapi menjadi bagian dari ibadah. Bahkan menyantap hidangan bersama keluarga pun menjadi amal kebajikan bila diniatkan untuk mempererat kasih sayang dan menjaga amanah tubuh. Islam tidak memisahkan yang duniawi dari yang ukhrawi, justru mengajarkan bahwa keduanya bisa saling menguatkan.
Di samping itu, Rasulullah menyandingkan makan dan minum di Hari Tasyrik dengan berdzikir. Ini menjadi pengingat bahwa kenikmatan tidak boleh menjauhkan kita dari Allah. Dzikir adalah kunci agar nikmat tidak melahirkan lalai. Ketika makanan melimpah dan suasana gembira memenuhi rumah, hati tetap diisi dengan pujian dan syukur kepada-Nya. Momen makan menjadi momen ibadah, bukan hanya karena mengenyangkan, tetapi karena mengingatkan akan karunia-Nya yang tak terhitung.
Begitulah wajah Islam yang luar biasa. Ia tidak hanya hadir dalam sajadah dan masjid, tetapi juga dalam dapur dan ruang makan. Ia tidak hanya mengatur zakat dan haji, tetapi juga memuliakan sedetail-detailnya aspek kehidupan sehari-hari. Islam mengajarkan bahwa kesederhanaan bisa bernilai tinggi bila dijalani dengan niat yang lurus. Maka manfaatkan Hari Tasyrik bukan hanya untuk menyantap hidangan lezat, tetapi juga untuk menyuburkan niat, memperkuat syukur, memperbanyak dzikir, dan menjaga amanah nikmat dengan seimbang. Jangan sampai nikmat yang begitu besar ini disia-siakan dalam bentuk pemborosan atau makan berlebihan yang membahayakan kesehatan. Ingatkan diri untuk tidak mubazir, dan sesuaikan porsi dengan kondisi tubuh masing-masing, karena Islam sangat mencintai keseimbangan.
0 facebook:
Post a Comment