Oleh: Supiati, S. Ag., M. Sos
Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh
Di tengah derasnya arus perubahan sosial, konflik identitas, serta fragmentasi nilai di masyarakat, keberadaan penyuluh agama Islam menjadi sangat strategis. Mereka bukan sekadar pemberi tausiyah atau pengisi pengajian rutin, melainkan agen perubahan sosial yang menjembatani nilai-nilai keagamaan dengan konteks kebangsaan.Dalam menjalankan tugasnya, penyuluh tidak bisa berjalan sendiri. Mereka harus mampu bersinergi—bekerja sama, berjejaring, dan membangun kolaborasi yang konstruktif—dengan berbagai elemen masyarakat: tokoh agama, tokoh adat, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan instansi pemerintah. Di sinilah semangat ASKAPROTAS Kementerian Agama, khususnya nilai sinergi, menjadi sangat relevan dan mendesak untuk diwujudkan dalam praktik nyata.
Penyuluh Sebagai Titik Temu
Salah satu kekuatan utama penyuluh adalah kedekatannya dengan masyarakat akar rumput. Mereka dikenal, dihormati, dan memiliki akses langsung ke ruang-ruang sosial yang tidak selalu bisa dijangkau oleh lembaga formal. Maka, penyuluh dapat menjadi titik temu yang menghubungkan suara masyarakat dengan kebijakan, serta menjembatani komunikasi antara institusi dan komunitas lokal.
Sinergi yang dimaksud di sini bukan hanya soal koordinasi program, melainkan kemampuan membangun kepercayaan lintas sektor. Dalam konteks desa atau kelurahan, misalnya, penyuluh agama yang bersinergi dengan kepala desa, tokoh adat, dan karang taruna bisa mendorong terciptanya kegiatan keagamaan yang tidak hanya seremonial, tapi juga berdampak sosial—seperti pemberdayaan keluarga, kampanye anti-narkoba, atau dialog lintas iman.
Penyuluh juga dapat berperan sebagai mediator sosial ketika terjadi gesekan di masyarakat. Dalam kasus konflik antarwarga, isu toleransi, atau kesalahpahaman terkait praktik keagamaan, penyuluh yang sudah membangun jejaring luas akan lebih mudah memediasi dan menciptakan ruang damai.
Bersinergi dengan Ormas dan Lembaga Keagamaan
Organisasi masyarakat (ormas), terutama ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya, memiliki peran signifikan dalam membentuk opini publik dan perilaku keagamaan. Sayangnya, hubungan antarormas kadang diwarnai rivalitas, bahkan sentimen sektarian.
Penyuluh harus mengambil posisi sebagai pemersatu, bukan berpihak pada satu kelompok. Dalam sinergi yang sehat, penyuluh bisa mengorganisir kegiatan bersama lintas ormas, seperti pengajian gabungan, pelatihan moderasi beragama, atau aksi sosial lintas lembaga. Tujuannya bukan hanya menciptakan harmoni antarormas, tetapi juga menunjukkan kepada masyarakat bahwa perbedaan mazhab atau afiliasi bukan alasan untuk tidak bersatu dalam kebaikan.
Lebih jauh, penyuluh yang aktif dalam forum lintas ormas juga berperan sebagai penyambung lidah moderasi beragama. Mereka bisa membawa narasi keislaman yang damai, toleran, dan adaptif ke forum-forum strategis, serta meluruskan pemahaman keagamaan yang kaku atau eksklusif.
Kolaborasi dengan Instansi: Dari Program Seremonial ke Transformasi Sosial
Instansi pemerintah, baik dari sektor pendidikan, kesehatan, sosial, maupun keamanan, kerap kali memiliki program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Namun, tidak semua program itu berjalan efektif jika tidak diiringi pendekatan kultural dan spiritual. Di sinilah penyuluh agama hadir sebagai penyambung dimensi struktural dan kultural.
Contoh konkret bisa kita lihat pada program pencegahan pernikahan anak, penanggulangan stunting, atau kampanye anti-radikalisme. Jika hanya dilakukan secara formal oleh instansi, pesan-pesan ini bisa hambar dan sulit diterima. Tetapi ketika penyuluh agama ikut menyuarakan, menyisipkannya dalam ceramah atau diskusi keagamaan, pesan itu menjadi lebih “mendarat” di hati masyarakat.
Kolaborasi lintas sektor ini tidak hanya memperkuat program, tetapi juga memperluas jangkauan dakwah. Dakwah tidak lagi terkungkung di masjid atau majelis, tetapi menjelma dalam bentuk aksi sosial, edukasi publik, dan transformasi perilaku berbasis nilai agama.
Membangun Kepercayaan dan Keteladanan
Namun, sinergi tidak bisa dibangun dalam ruang kosong. Ia lahir dari kepercayaan, dan kepercayaan lahir dari keteladanan. Penyuluh agama yang konsisten dalam ucapan dan tindakan, yang terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat, akan lebih mudah diterima dan diajak bekerja sama.
Sebaliknya, jika penyuluh bersikap eksklusif, hanya hadir dalam forum resmi atau cenderung membawa agenda kelompok tertentu, maka sinergi akan sulit terbangun. Maka penting bagi setiap penyuluh untuk menempatkan diri sebagai pelayan umat, bukan penguasa mimbar. Bersikap terbuka, inklusif, dan proaktif dalam membangun hubungan antarpihak adalah kunci keberhasilan.
Penutup: Sinergi Sebagai Jalan Menuju Harmoni
Indonesia adalah negara dengan keberagaman luar biasa—suku, agama, budaya, dan pandangan hidup. Dalam keragaman ini, konflik bisa menjadi ancaman, tetapi juga bisa diubah menjadi kekuatan jika dikelola dengan bijak. Dan penyuluh agama, dengan kapasitas, jaringan, dan kepekaannya, adalah aktor kunci dalam mengelola keberagaman itu.
Bersinergi dengan tokoh masyarakat, ormas, dan instansi bukan sekadar strategi administratif, melainkan jalan ideologis menuju masyarakat yang damai dan harmonis. Sinergi adalah kerja kolaboratif yang dilandasi kepercayaan, dipandu oleh ilmu, dan digerakkan oleh niat suci untuk menebar rahmat bagi semesta.
Penyuluh yang mampu bersinergi adalah penyuluh yang mampu menghadirkan Islam sebagai agama yang hidup dalam tindakan, bukan hanya dalam kata-kata. Ia menjadi jembatan, bukan tembok. Menyatukan, bukan memecah. Dan dalam sinergi itulah, cita-cita besar kehidupan beragama yang moderat dan berkeadaban bisa diwujudkan.
0 facebook:
Post a Comment