Oleh : Ahmad Faizuddin
Ada yang berpendapat bahwa
politik itu kejam. “Politic is a dirty game,
the politicians make it dirtier” (politik itu
adalah permainan kotor, para politisi
membuatnya lebih kotor). Namun ada juga
yang berpendapat “politic is not dirty, but
politicians make it dirty” (politik itu
tidaklah kotor, tapi para politisi lah yang
membuatnya kotor). Jadi, apakah semua
politisi itu kotor? Dan apakah kita memilih
untuk tidak berpolitik?
Menjelang PEMILU (Pemilihan
Umum) 2014 ini, trik-trik politik pun
kembali dimainkan. Bukan rahasia lagi
kalau para calon wakil rakyat kita menebar
janji-janji manisnya selama kampanye
b e r l a n g s u n g . B i a s a n y a s e t e l a h
mendapatkan kursi jabatan, maka
lenyaplah janji-janji tersebut di telan masa.
Ingat! Janji adalah hutang. Yang namanya
hutang maka harus dibayar segera. Kalau
kira-kira tidak sanggup membayarnya,
maka jangan berjanji dengan seenaknya
saja.
Ada yang pro dan ada pula yang anti
politik. Yang jelas kita harus mengakui
bahwa mulai dari harga makanan yang kita
beli sampai pakaian dalam yang kita pakai,
semuanya mempunyai unsur politik.
Nah,
bagaimana sebenarnya Islam memandang
politik itu?
Dalam Islam, istilah politik disebut
dengan siyasah, yang mempunyai arti
mengurus atau mengatur perkara yang
berhubungan dengan masyarakat. Ilmu
siyasah berarti ilmu pemerintahan atau
ilmu tata Negara. Jadi sebenarnya Islam
s a n g a t m e m p e r h a t i k a n m a s a l a h
keummatan. Orang yang tidak peduli
dengan masalah ummat berarti dia tidak
peduli dengan agamanya. Siyasah bukan
hanya mengenai kekuasaan saja, namun
juga bagaimana mengurus kesejahteraan
ummat.
Dalam sebuah hadis Rasulullah
SAW bersabda, “Siapa saja yang bangun di
pagi hari dan dia hanya memperhatikan
urusan dunianya, maka orang tersebut tidak
berguna apa-apa di sisi Allah; dan
barangsiapa yang tidak memperhatikan
urusan kaum Muslimin, maka dia tidak
termasuk golongan mereka” (H.R.
Thabrani). Bukankah ini sebuah politik?
Ada banyak hal yang harus kita perhatikan
mulai dari urusan syari'at, bertetangga, dan
bernegara.
Orientalis Barat seperti Fitzgerald,
Nallino, Schacht, dan lain-lain berpendapat
bahwa Islam bukan hanya sekedar agama
(a religion), namun juga merupakan
sebuah system politik (a political system).
K a r e n a R a s u l u l l a h S AW t e l a h
membangun sebuah Negara (a state) di
Madinah dengan system perundangundangan
dan peradaban yang lengkap.
Maka tidaklah salah kalau kita
mengatakan bahwa Rasul SAW adalah
Bapak Politik Islam yang pertama. Beliau
telah meletakkan dasar-dasar politik yang
bagus di tengah-tengah parlemen orang
Arab Jahiliyah.
Bahkan Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa Islam harus ditegakkan dengan dua
hal, yaitu Al-Qur'an dan pedang. Yang
pertama melambangkan sumber hukum
Allah yang tertinggi dan yang kedua
merupakan kekuatan (politik) untuk
menjamin tegaknya hukum-hukum Al-
Qur'an.
Hampir senada, Hasan Al-Banna
berkata, “Sesungguhnya seorang Muslim
belum sempurna keislamannya kecuali
jika ia menjadi seorang politikus,
mempunyai pandangan jauh ke depan dan
memberikan perhatian penuh kepada
persoalan bangsanya. Keislaman seseorang
menuntutnya untuk memberikan perhatian
kepada persoalan-persoalan bangsanya”.
Dalam Kitab Al-Thuruq Al-
H u k m i y a h , I m a m I b n u Q a y y i m
mengatakan bahwa politik yang adil itu
adalah politik yang tidak bertentangan
dengan syara', bahkan sesuai dan mengikuti
pedoman Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya
(As-Sunnah). Jadi prinsip utama politik
Islam harus berpegang kepada ramburambu
syari'ah, seperti musyawarah,
berlaku adil, dan berakhlak mulia.
J a d i b a g a i m a n a h u k u m n y a
berpolitik itu? Selama dilakukan sesuai
dengan pedoman agama Islam, maka ia
boleh. Bahkan hukumnya menjadi fardhu
(wajib) ketika politik itu merupakan satusatunya
cara untuk memperjuangkan
kesejahteraan ummat. Dalam sebuah
kaidah syara' disebutkan, “Apabila suatu
kewajiban tidak terlaksana dengan
sempurna kecuali dengan suatu perbuatan,
maka perbuatan tersebut hukumnya adalah
wajib”.
Dan politik juga pada dasarnya
adalah bagian dari da'wah Islam. Firman
Allah SWT, “Dan hendaklah ada diantara
kalian sekelompok ummat yang mengajak
kepada kebaikan dan menyeru kepada
kema'rufan serta mencegah dari
kemunkaran. Dan merekalah orang-orang
yang beruntung” (Q.S. Ali 'Imran: 104).
Terakhir, sebagai renungan
bersama, coba kita lihat kondisi kita
sekarang. Menjelang PEMILU ini ramai
orang membicarakan tentang GolPut
(Golongan Putih). Istilah ini adalah sebutan
untuk mereka yang tidak menggunakan hak
pilihnya dalam PEMILU dengan alasan
yang beragam. Intinya mereka tidak puas
dengan pelaksanaan PEMILU.
Itu adalah hak individual, namun
mengapa harus GolPut? Kalau alasannya
karena banyak partai dan calon wakilnya
yang tidak bersih, maka pilihlah yang ada
baiknya sedikit. Jangan sampai nanti justru
malah semua orang yang tidak baik yang
menjadi wakil rakyat. Bukankah kita juga
bertanggung jawab kalau negeri ini tambah
kacau?
© Akhi, Gombak: March 1st, 2014, 10:00 a.m