Oleh: Ahmad Faizuddin

Pendidikan memberikan kontribusi yang besar terhadap kemajuan suatu bangsa. Sayangnya kualitas pendidikan kita saat ini masih kurang berkualitas dan seakan tidak mempunyai makna yang berarti. Banyaknya lulusan sekolah dan perguruan tinggi tidak menjamin baiknya akhlak dan moral masyarakat. Oleh karena itu, kita memerlukan sebuah model pendidikan yang berkualitas yang mencakup seluruh aspek jiwa dan raga si anak didik. Salah satu tokoh ilmuwan Islam yang banyak berkecimpung dalam bidang pendidikan khususnya adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691–751 H/1292–1350 M) yang berasal dari Damaskus. Beliau memulai pembelajarannya sejak kecil di Madrasah Al-Jauziyah dibawah bimbingan ayahnya, Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad Az-Zura’i Ad-Dimasyq, dan banyak guru-guru terkenal lainnya – termasuk Ibnu Taimiyah, sehingga mempunyai wawasan yang luas dalam agama dan menghasilkan karya-karya yang fenomenal yang tetap dibaca orang sampai sekarang. Tulisan ini akan membahas beberapa pemikiran dan nasehat Ibnu Qayyim sebagaimana dirangkum oleh Hasan bin Ali Al-Hijazy dalam karya beliau Al-Fikru At-Tarbawy ‘Inda Ibnu Qayyim. 

Secara umum menurut Ibnu Qayyim, kegiatan belajar mengajar itu mempunyai tiga pilar utama, yaitu kurikulum (manhaj), guru (murabbi) dan murid (thalib). 

1. Kurikulum Pendidikan 

Metode pendidikan yang disusun oleh Ibnu Qayyim sebagaimana disebutkan dalam Kitab Madarijus Salikin adalah manhaj salaf yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Manhaj ini fokusnya adalah mendahulukan perkataan para Sahabat Nabi SAW atas yang lainnya, luas dan sempurna, memberikan kebebasan dalam memilih dan berpendapat, terpola dengan pemahaman tentang kebaikan syari’at dan hikmah pensyari’atan, memperhatikan hikmah-hikmah yang terkandung dalam hukum dan cara pengambilan dalil, hidup dan penuh perasaan, menggunakan retorika dalam penjelasannya, bagus dan teratur susunan katanya, menampakkan ketundukan dan penuh keseriusan, dan diulang-ulang dalam penyajiannya. Manhaj ilmiah yang benar menurut Ibnu Qayyim adalah yang bersandar kepada argument (burhan), dalil yang jelas (hujjah) dan hujjah yang nyata (bayyinat). Maka seorang Mukmin harus mengambil pemikiran (fikrah) yang lurus bersandarkan kepada dalil dan hikmah serta menolak perkataan dan perdebatan kosong. 

2. Guru Sebagai Pendidik

Seorang guru harus mempunyai akhlak yang sesuai sebagai seorang pendidik. Ibnu Qayyim melarang seorang guru itu tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan dunia karena dunia akan menyihir hati mereka. Ia hendaknya senantiasa berjihad dengan ilmu, hujjah dan bayan karena pemahaman yang mendalam tentang agama adalah salah satu tanda tingginya iman seseorang. Selanjutnya, seorang guru senantiasa mendakwahi manusia kepada cahaya petunjuk dan bersabar dalam meniti jalan dakwahnya. Ia tidak boleh terlalu mudah mengeluarkan fatwa dan berhati-hati dalam menjawab suatu soalan sebagaimana tuntunan para salafus shalih. Abdur Rahman bin Abi Laila berkata, “Aku telah menemui 120 orang Anshar dari kalangan sahabat Rasulullah. Ketika salah satu dari mereka ditanya tentang suatu masalah, ia melemparkannya kepada yang lain, dan begitu seterusnya sehingga pertanyaan tersebut kembali kepada orang yang pertama. Mereka melakukan yang demikian itu karena merasa bahwa saudaranya yang lain lebih berhak untuk memberikan fatwa daripada dirinya” (Jalaul Ifham fi Shalat wa Sallam ‘ala Khairil Anam, hal. 249-250). Seorang guru yang baik juga tidak merasa pesimis dengan celaan manusia tentang dirinya dan tidak berbesar hati karena pujian mereka. Ia merasa tidak cukup dengan ilmu yang dimilikinya dan selalu ingin menambahkannya serta mengamalkannya dengan penuh ketakutan kepada Allah (khasyatullah). 

Kemudian yang paling utama juga seorang guru hendaknya teratur dalam proses belajar dan mengajar mulai dari pujian kepada Allah SWT, shalawat kepada Nabi SAW dan menutupnya dengan do’a yang baik. Diantara do’a yang diajarkan Nabi SAW adalah: Ya Allah berilah kami bagian dari rasa ketakutan kepada-Mu yang akan membentengi kami dari bermaksiat kepada-Mu, dan berilah kami bagian dari ketaatan kepada-Mu yang akan menghantarkan kami ke syurga-Mu, dan berilah kami bagian dari keyakinan yang akan meringankan musibah dan bahaya dunia bagi kami (H.R. Tirmidzi). Seorang guru juga mempunyai adab yang harus dipenuhi terhadap anak didiknya. Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa seorang murabbi harus menyayangi muridnya sebagaimana menyayangi anaknya sendiri. Namun demikian, kasih sayangnya tidak boleh menghalanginya untuk memberikan hukuman yang layak dan wajar apabila diperlukan. Rasul SAW membolehkan memukul anak sebagai sarana pendidikan, “Perintahkanlah anak-anakmu agar shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka jika tidak mau ketika mereka sudah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur” (H.R. Abu Daud). 

Seorang guru yang baik senantiasa mewasiatkan anak didiknya kepada kebaikan dan keutamaan dalam agama sebagaiman wasiat Nabi SAW kepada para pencari ilmu, “Sesungguhnya manusia itu mengikuti kalian dan seseungguhnya banyak manusia yang datang kepada kalian dari seluruh penjuru bumi untuk mendalami agama dari kalian. Oleh karena itu, jika mereka datang kepadamu berwasiatlah kepada mereka dengan kebaikan (H.R. Tirmidzi). Peran seorang guru bukan hanya mentransfer ilmu kepada anak didiknya, tetapi juga memperhatikan akhlak dan tingkah laku mereka. Ia juga harus berbuat adil dan tidak membeda-bedakan antara anak didiknya. Seandainya seorang guru melihat kejeniusan pada anak didiknya, maka ia harus mendorong dan membangkitkan semangatnya untuk mempertahankan kelebihannya tersebut. Profesi pendidikan (tarbiyah dan ta’lim) adalah pekerjaan yang mulia dan utama. Rasulullah SAW pernah melewati dua majlis di dalam Masjid, kemudian beliau bersabda, “Keduanya dalam kebaikan, tetapi yang satunya lebih utama dari yang lainnya. Majlis yang berdo’a dan mereka tawadhu’ dalam do’anya, jika Allah menhendaki maka Dia akan mengabulkan do’anya. Adapun mereka yang belajar ilmu dan fiqh lalu mengajarkan kepada orang-orang bodoh, maka mereka lebih utama dari temannya yang berdo’a, karena sesungguhnya aku diutus sebagai seorang muallim. Kemudian beliau duduk bersama mereka” (H.R. Ad-Darimi). 

Jadi metode pendidikan yang benar sangatlah penting khususnya di era modern sekarang ini, karena lembaga pendidikan adalah tempat kita mempersiapkan generasi penerus yang akan menggantikan kita kelak. 3. Murid Sebagai Pelajar Seorang pelajar dintuntut untuk memperhatikan akhlak yang sesuai sebagai penuntut ilmu. Diantara akhlak seorang murid adalah menjauhi kemaksiatan dan menundukkan pandangannya supaya terbukanya pintu ilmu. Para pelajar harus mewaspadai tempat-tempat yang menyebarkan kesia-siaan (lahwun) dan majlis-majlis keburukan. Mereka juga harus senantiasa menjaga waktunya supaya tidak terbuang percuma untuk membicarakan hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi berbohong dan berbicara hal-hal yang tiada ilmu tentangnya dan ujung pangkalnya. Rasulullah SAW bersabda, “Apa-apa yang kalian ketahui maka katakanlah, dan apa yang tidak kalian ketahui maka serahkan kepada ahlinya” (H.R. Ahmad). Seorang pelajar juga dilarang membanggakan dirinya dengan kelebihan ilmunya karena hal ini lebih buruk dari membanggakan diri dengan harta, kedudukan dan kenikmatan dunia yang sangat dicela oleh syari’at. 

Adapun kewajiban utama seorang pelajar adalah mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya, karena ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buahnya. Abu Darda meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang meniti jalan menuntut ilmu, maka Allah akan menghantarkannya ke syurga, dan sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya sebagai tanda keridhaan mereka kepada penuntut ilmu” (H.R. Tirmidzi). Selanjutnya menurut Ibnu Qayyim sifat ilmiah seorang pelajar adalah mendalami dan mempelajari ilmu serta tidak malu bertanya kepada ahli ilmu. Beliau menjelaskan bahwa kunci ilmu pengetahuan adalah pertanyaan yang baik dan mendengarkan jawaban dan penjelasan dengan baik. Meskipun mencari muka dan bolak-balik menemui seseorang (tamalluq), rendah diri (dzillun) dan meninggalkan sifat malu termasuk perbuatan kurang terpuji, namun hal tersebut menjadi terpuji apabila dilakukan oleh seorang pelajar dalam menuntut ilmu. Demikian juga sebaliknya, seorang pelajar juga harus mempunyai sifat apabila ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya maka ia tidak malu untuk menjawab bahwa ia tidak tahu. 

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Lima perkara jika seseorang rela mencarinya ke Negeri Yaman, niscaya ia akan mendapatkan ganti dari yang ditinggalkannya di negeri asalnya, yaitu seorang hamba tidak merasa takut kecuali kepada Rabbnya, tidak pernah merasa khawatir kecuali karena dosanya, jika tidak tahu tidak merasa malu untuk belajar, serta jika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya dia tidak malu untuk menjawab aku tidak tahu” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/185). Ibnu Qayyim juga mengingatkan bahwa adab utama seorang pelajar adalah menjaga niat dan sikapnya. Kebahagiaan ilmu hanya akan diraih apabila dilakukan dengan bersungguh-sungguh, jujur dalam pencarian, serta lurus dalam niatnya. Adapun sikap seorang pelajar yang harus dijaga adalah memuliakan guru dengan lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Dan juga di antara adab seorang murid kepada gurunya adalah berusaha menyertai dan mengambil faedah darinya (mulazamah). Sama halnya dengan para pencari harta dunia, para pencari ilmu pengetahuan tidak akan pernah merasa kenyang dan puas dengan pencariannya. 

Oleh karena itu, ilmu yang telah didapatkan harus dijaga dan dirawat dengan sungguh-sungguh, karena penyakit ilmu adalah lupa, kemalangannya adalah berbohong tentangnya, dan aibnya adalah mengajarkannya kepada yang bukan ahlinya. Ilmu pengetahuan tidak bisa diraih dengan sempurna kecuali oleh orang-orang yang meluangkan kebanyakan waktunya untuk mencari ilmu. Para ulama salafus shalih merupakan contoh teladan dalam mengisi waktu mereka dengan mencari ilmu, mempelajari, mendengar dan membahasnya baik di waktu sehat maupun di waktu sakit. Ibnu Qayyim berkata bahwa orang yang mencintai ilmu, kerinduannya kepada ilmu tersebut melebihi kecintaan seorang kekasih terhadap kekasihnya. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari pernah dikatakan kepada isteri Zubair bin Bakr, “Selamat bagimu karena kamu tidak memiliki madu (isteri kedua suami) yang engkau cemburui.” Dia menjawab, “Sesungguhnya buku-buku ini lebih aku cemburui daripada beberapa madu milik suamiku.” 

Peran dan Tanggungjawab Menjalankan Pendidikan Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ketika para guru dan pelajar sudah menjalankan tugas dan perannya dalam menekuni jalan meniti ilmu pengetahuan dengan baik, maka keluarga dan masyarakat mempunyai tanggungjawab yang besar untuk membentuk, menjaga dan merawat jalannya pendidikan ummat. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Karena dari sinilah seorang anak belajar pertama sekali mengenal dunia melalui kaca-mata Ibu Bapaknya. Maka apabila kedua orang tuanya mencontohkan dan mengajarkan hal-hal yang baik (qudwah hasanah) di lingkungan keluarganya, si anak akan tumbuh dengan karakter yang baik dan menjadi sosok panutan di lingkungan masyarakatnya. Ibnu Qayyim mengarang kitab khusus berjudul Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud tentang pentingnya peran keluarga dalam mendidik anak sejak dini. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan secara rinci mulai dari kelahiran anak, memberinya nama dan pola pendidikan dan pembangunan jiwa anak. Ketika memasuki masa kanak-kanak (ath-thufulah), orang tua dianjurkan untuk memperdengarkan dan mengajarkan anak-anaknya kalimat tauhid (laa ilaaha illallahu) sejak ia mulai bisa berbicara. 

Hal tersebut dapat merangsang jiwa si anak sehingga ia diharapkan dapat tumbuh menjadi anak yang shaleh. Peran orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya juga termasuk menjaga kesehatan, pakaian dan gizi mereka sehingga anak bisa belajar dengan tenang dan baik. Sejalan dengan itu mereka harus diawasi dari sifat-sifat yang jelek seperti berkata bohong dan meminum minuman yang diharamkan. Diantara pola pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada ummatnya adalah berbuat adil terhadap anak. Sikap adil orang tua terhadap anak akan menanamkan kepercayaan dalam jiwa mereka dan menghasilkan kesehatan jiwa. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang laki-laki sedang duduk bersama Rasulullah SAW. Kemudian anak laki-lakinya yang masih kecil datang menghampirinya, maka ia pun menyambutnya, mencium dan mendudukkannya di pangkuannya. Setelah itu anak perempuannya pun datang menghampirinya, kemudian ia menariknya dan mendudukkannya di sampingnya. Seketika itu Rasul SAW berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau tidak berbuat adil kepada keduanya.” Maka para salafus shalih menganjurkan dan mencintai keadilan bahkan dalam mencium di antara anak-anaknya. 

Para ahli jiwa juga mengakui bahwa persamaan (‘adalah) dalam pergaulan (mu’amalah) dapat mengembalikan kepercayaan individu dan masyarakat. Tanggung jawab pengajaran (ta’lim) secara khusus juga ditujukan kepada para Ibu yang dengannya si anak menghabiskan kebanyakan waktunya. Seorang Ibu rumah tangga harus cerdas dan berpengetahuan luas sehingga ia bisa mengajarkan anak-anaknya ilmu dan peradaban (tsaqafah). Bercermin kepada rumah tangga Rasulullah SAW, isterinya ‘Aisyah RA merupakan sumber tarbiyah dan ta’lim bagi para Sahabat khususnya setelah wafatnya Rasul SAW. Urwah bin Zubair mengatakan, “Aku tidak pernah duduk dengan seorang yang lebih tahu tentang hukum (qadha), cerita orang-orang jahiliyah, sya’ir, pembagian harta warisan (faraidh) dan kedokteran kecuali ‘Aisyah RA.” 

Selanjutnya, masyarakat khususnya Masjid juga mempunyai peran besar dalam proses pendidikan. Di masa lampau, Masjid merupakan sentral dan pusat segala aktivitas termasuk pendidikan. Maka mengembalikan fungsi Masjid menjadi pusat kegiatan ummat merupakan langkah awal untuk memajukan pendidikan khususnya pembinaan akhlak dan karakter anak-anak penerus bangsa. Masjid jangan hanya dijadikan tempat ibadah yang hanya dibuka ketika waktu shalat kemudian dikunci di kala tidak shalat. Malah, aktivitas tarbiyah dan ta’lim seharusnya semakin diperbanyak di Masjid-Masjid untuk menumbuhkan kecintaan ummat kepada ilmu pengetahuan dan mengembalikan kemuliaan (‘izzah) Islam seperti dulu kala. 

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa kegiatan tarbiyah dan ta’lim merupakan amal terbaik yang dilakukan di dalam Masjid, setelah dzikir dan do’a. Dewasa ini, dengan semakin terstrukturnya metode pendidikan, madrasah juga mempunyai peran yang besar dalam proses pendidikan ummat. Akhirnya, pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan oleh lancarnya peran dan tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar. Sebagai evaluasi kita bersama, apakah para orang tua sudah menjalan tugas dan kewajiabnnya dalam mempersiapkan pendidikan anaknya? Apakah kita sudah menerapkan kurikulum yang sesuai dengan tuntunan syari’at? Apakah para guru sudah menjalankan tugasnya dengan baik terutama dalam hal wasiat kepada kebaikan dan istiqamah dalam meniti jalan da’wah? Dan apakah para pelajar kita sudah menjaga adab-adabnya dan mengamalkan ilmu yang mereka dapat secara benar? 

Kuala Lumpur: November 17, 2018
SHARE :
 
Top