Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Kontemplasi Sang Guru


Kehidupan manusia sebelum Islam tak ubahnya seperti animal, hidup tanpa tatanan dan tuntunan. Mereka tidak saling mengasihi apalagi menghormati. Hati bagaikan mati dalam meniti  kehidupan dunia. Tak mengenal kasih sayang, hak dan kewajiban diantara sesama. Kehidupan manusia bagaikan hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Yang lemah tertindas dan tertindih, sementara yang kuat terkenal dan perkasa. Penguasa ditakuti banyak orang, sehingga tidak ada yang berani mengusik dan mengutik. 

Perempuan merupakan makhluk mulia, namun pada masa jahiliyah mereka dianggap sebagai sampah tanpa nilai. Perempuan hanya dijadikan sebagai tempat pelampiasan kaum lelaki semata, diperbudak dan peralat di luar prikemanusiaan. Perempuan dianggap hina dan direndahkan. 

Dalam bukunya Berbicara Tentang Perempuan, Buya Hamka menuturkan, pada masa jahiliyah kehairan bayi perempuan tak diharapkan, mareka dianggap sebagai aib keluarga yang memalukan. Jika seorang diketahui istrinya  melahirkan anak perempaun, maka sang ayah akan menanggung malu. Ia akan diolok-olok, sehingga  mengasingkan diri dan  merasa tersisih. 

Oleh karenanya, kalau ada perempauan yang akan melahirkan, mereka segera mempersiapkan lubang tanah. Perempuan tersebut disuruh masuk ke dalam lubang tanah yang telah disiapkan. Setelah lahir, jika perempuan, akan terus ditimpa dengan tanah hidup-hidup. Akan tetapi jika bayinya laki-laki akan diangkat dan siarkan kepada orang banyak sebagai suatu kebanggaan. 

Sungguh menyedihkan nasib perempuan saat itu. Apakah mereka tidak berpikir, jika perempuan tidak ada, lalu siapa yang akan melahirkan untuk  meneruskan keturunan di muka bumi ini? Apakah mereka juga tidak berpikir, siapa yang telah melahirkan mereka? Ketahuilah, Allah hanya memberikan rahim kepada kaum perempuan saja. Lalu jika perempuan dimusnahkan, bagaimana kehidupan dunia akan berjalan? Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 

Menurut adat jahiliyah, perempuan tidak memiliki hak terhadap dirinya. Mereka dianggap sebagai beban keluarga, tidak dapat membantu bahkan hanya menjadi beban saja. Dalam pembagian harta warisan,  perempuan juga tidak dilibatkan. Menurut mereka, hak ahli waris hanya untuk laki-laki saja, sementara perempuan tidak mendapatkan bagian. Begitu rendah perempuan di masa jahiliyah.

Buya Hamka menulis, menurut adat jahiliyah, pada masa itu perempuan dijadikan sebagai warisan bila suaminya telah meninggal dunia. Yang berhak atas istri yang meninggal suami adalah  kaum keluarga yang terdekat dengan suami, seperti anak-anaknya dan saudaranya yang laki-laki. 

Sepeninggal suami, istri sepenuhnya menjadi hak keluargan sang suami. Jika mereka suka perempuan tersebut, akan dinikahinya atau dinikahkan kepada orang lain yang ditentukan mereka. Namun, jika tidak disukai akan ditahan begitu saja tanpa dinikahi. Dalam riwayat lain disebutkan, jika perempuan itu cantik akan dinikahi mereka, namun jika jelek akan ditahan saja di rumah sampai meninggal dunia. 

Keluarga si perempuan tidak berkuasa membela saudaranya, karena keluarga suami dianggap lebih berhak atas perempuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pengambilan perempuan sebagai warisan secara paksa. Nasib perempuan tersebut ditentukan oleh keluarga laki-laki suami. 

Ternyata, yang lebih stadisnya lagi, perempuan tersebut ditahan dan dikurung di dalam rumahnya. Dia tidak diperbolehkan keluar rumah, apalagi pergi kemana-mana. Situasi ini dibiarkan sampai si perempuan meninggal dunia. Sementara harta benda, perhiasan pembelian suami bahkan mas kawin ketika menikah dengan suami, semua menjadi hak milik keluarga suami. Jika keluarga si perempuan ingin membelanya, ia harus menebusnya dengan harga yang telah ditentukan, tetapi jika si perempuan itu cerdik, dia dapat melarikan diri dan melepaskan diri dari cengkraman tersebut. 

Begitulah nasib kaum perempuan ketika itu. Para perempuan tidak mendapatkan haknya sama sekali. Bahkan, selalu tertindas dan terzalimi, sehingga tibalah waktu yang telah dijanjikan. lahirnya junjungan alam Nabi Besar Muhammad saw, membawa risalah, perubahan dan peradaban baru dalam semua aspek kehidupan, termasuk menghapus kebiadaban terhadap perempuan. Rasulullah saw  datang mengangkat derajat kaum perempuan menjadi terhormat dan dimuliakan. Memosisikan mereka sama dengan kaum laki-laki untuk memperoleh hak dan kewajiban secara adil, karena pada dasarnya perempuan itu makhluk yang paling mulia. Lewat rahim perempuan pula lahirnya para nabi dan rasul. 

Lahirnya Rasulullah saw  di tengah-tengah kezaliman dan keangkaramurkaan. Tak dapat dibayangkan bagaimana gembiranya para perempuan Arab ketika itu. Mereka mendapatkan kembali harga diri. Kelahirannya tak lagi ditunggu untuk dikuburkan hidup-hidup. 

Buya Hamka minta membayangkan,  betapa banyaknya para perempuan hebat di muka bumi ini sebagai pelopor keimanan dan keislaman. “Coba kita mengenang para istri-istri Rasulullah saw seperti Khadijah dan yang lainnya, Fatimah putrinya, Siti Maryam ibunya nabi Isa as, Asiah istri Firaun, Siti Masyithah dan masih banyak lagi yang takkan pernah habis kita sebutkan  satu persatu,” kata Hamka. Itu merupakan suatu bukti perempuan juga memegang peranan penting. Bukan hanya kaum laki-laki saja.  

Kini, deràjat kaum perempuan telah terangkat di ketinggian dan kemuliaan, sehingga telah mendapatkan hak dan kewajiban yang setara  dengan kaum lelaki. Meskipun demikian, Allah telah menetapkan dalam Alquran, bahwa kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi kaum perempuan.

Demikian indah dan beradabnya Islam. Tidak ada yang mesti tertindas, karena semua memiliki hak yang sama secara adil. Demikian pula  kaum perempuan, mestilah tetap  menjaga  marwah, harkat dan martabat yang telah diperjuangkan Rasulullah saw. Jangan biarkan harga diri direndahkan, apalagi dilecehkan. Semoga Allah meridai orang-orang yang telah memuliakan perempuan. (Editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top