Oleh: Hadi Irfandi

Di era ketika insentif instan dijadikan tolok ukur kemajuan dan viral lebih penting daripada nilai, menyebabkan pemuda/i Muslim tebang pilih ketika membantu sesama khususnya saat memilih organisasi. Sudah rahasia umum —berbuat karena Allah— terdengar utopis di tengah godaan insentif, beasiswa, program luar negeri, atau jabatan prestisius yang tak jarang datangnya dari lembaga-lembaga tak peduli akidah. Padahal, ketika motivasi utama kita bergeser dari mencari ridha Allah menjadi mencari validasi dunia, kita membuka celah paling berbahaya: dominasi ideologi kafir melalui pemberian benefit.

Data dari Pusat Kajian Sosial dan Budaya UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon pada tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 25% mahasiswa Gen-Z yang tertarik bergabung dengan organisasi daerah. Ini bukan sekadar penurunan minat berorganisasi, tetapi alarm krisis identitas. Ketika pemuda Muslim tidak tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan komunitas, nilai, dan syariah, lalu ke mana arah gerak mereka?

Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya daya lekat pemuda terhadap sukarelawan. Mereka lebih tertarik menjadi bagian dari sistem yang menawarkan insentif instan daripada mengkaji, memahami, dan memperjuangkan ide Islam. Bahkan dalam kegiatan sosial, kemanusiaan, hingga dakwah, benefit materi sering dijadikan ukuran akhir. Seolah jika tidak ada sertifikat, atau akses jejaring elit, maka tak perlu dilanjutkan. Pemikiran pragmatis ini menjadi akar masalah.

Celah itu Bernama Materi

Dalam skema kapitalisme modern, pemuda bukan hanya konsumen, tapi juga komoditas. Gagasan seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) misalnya, tak jarang membuka jalan ke luar negeri, namun seringkali bukan ke negeri-negeri Muslim. Di balik label “pengembangan diri”, tersembunyi pola pembentukan nalar dan gaya hidup yang berporos pada ideologi asing. Secara tak sadar, pemuda didorong agar memeluk nilai-nilai barat yang tampak “universal” namun sebenarnya sangat jauh dari Islam.

Ironisnya, ketika kita terdorong berbuat karena insentif, maka pihak kafir pun punya akses untuk mengatur arah langkah kita. Mereka tak perlu perang atau kekerasan. Cukup dengan dana hibah, proyek sosial, sponsor event, jabatan strategis, atau gaya hidup prestisius—kita bisa ditundukkan. 

Inilah yang disebut celah. Ketika yang memotivasi kita adalah materi, maka kita bisa dibentuk oleh siapa saja yang sanggup memberikannya. Di titik ini, keimanan kita sedang ditawar-tawar. Kita mungkin tetap menyebut nama Allah, tetap ikut kajian, bahkan memakai simbol Islam, tapi jika langkah hidup kita diarahkan oleh logika manfaat, maka kita bukan sedang bergerak karena Allah—namun sambil memberi mereka kendali untuk mengatur rencana jangka panjang hidup kita.

Sifat orang kafir terpampang jelas dalam Qur'an. Hanya idealisme yang mustahil mereka gadaikan (Lihat TQS Al-Baqarah ayat 120). Terhadap mereka, semestinya kita pun demikian.

Bayangkan, ketika pemuda Muslim lebih senang mengejar validasi algoritma media sosial daripada memperjuangkan nilai-nilai Islam, maka bukan tidak mungkin yang mereka dukung justru agenda-agenda kafir. Mungkin tanpa sadar, tapi tetap membahayakan. Sebab saat Islam tak lagi dijadikan standar berpikir, maka semua hal yang terlihat sebagai seminar “benefit karier” bisa diterima, meski harus mengiyakan omongan pemateri yang ideologinya bertentangan dengan syariah.

Sekali lagi, gerakan yang tidak digerakkan oleh ide Islam akan mudah dikooptasi. Gerakan yang tidak berpijak pada wahyu akan mudah ditunggangi. Dalam banyak kasus, perjuangan atas nama dakwah atau kemanusiaan menjadi kendaraan ide-ide liberal, feminis sekuler, atau kapitalisme sosial yang justru menjauhkan umat dari Islam.

Agar Tak Mudah Dibeli

Syariah lebih dari sekedar cara berwudhu yang benar, bagaimana menguburkan jenazah, atau menambah jumlah pujaan hati yang halal. Bagi kita, “Bergerak karena Allah” bukan slogan kosong. Ia adalah prinsip utama yang membentengi pemuda Muslim dari kooptasi sistem. Dalam Islam, motivasi berbuat bukan karena untung-rugi materi, tapi karena keyakinan bahwa ridha Allah adalah satu-satunya tujuan. Saat kita menjadikan wahyu sebagai standar, maka segala bentuk insentif duniawi tak akan bisa mengalihkan kita dari kebenaran.

"Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak." (TQS al-Mudatstsir ayat 6).

Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah dalam Tafsir al Wajiz mengemukakan bahwa ayat ini berarti : "Janganlah kamu (Muhammad) bermaksud memberikan sesuatu untuk mengharapkan balasan lebih banyak, namun berikan sesuatu dengan hanya mengharap ridha Allah."

Lebih lanjut, seorang muslim tidak bisa hanya beriman sebatas dari pakaian namun mengambil sumber selain nash nash syariah sebagai mindset hidup. Sebagaimana firman Allah SWT dalam dua surah di bawah,

Pertama, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (TQS Ali Imran ayat 102)  Ini adalah panggilan untuk hidup dan mati dalam keislaman total—bukan sekadar identitas, tapi cara berpikir dan bertindak.

Kedua, "Apakah kalian mengimani sebagian Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat dia dikembalikan pada azab yang paling berat. Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan (TQS al-Baqarah [2]: 85). 

Ayat al Baqarah diatas turun berkenaan dengan perilaku orang Yahudi, suku Aus dan Khazraj dan para sekutunya dari kalangan Bani Qainuqa, Bani Nadir dan Bani Quraidhah. Saat itu mereka bertikai tanpa mengindahkan ajaran Taurat. Namun, ketika sampai pada soal tawaran perang, mereka meminta sesuai dengan ketentuan Taurat.

Dalam dunia yang berorientasi pada kepentingan materi, orang-orang yang berpegang pada ide Islam akan selalu jadi “masalah” bagi kekuatan kafir. Mereka tak bisa dikendalikan. Mereka tak bisa dibeli. Sebaliknya, mereka justru menjadi ancaman karena menolak semua skenario materialis sebagai jalan keluar.

Sebab itu, jika kita menjadikan ide—yakni Islam yang bersumber dari wahyu—sebagai standar hidup, maka para pengusung kapitalisme global akan kewalahan. Mereka tidak punya ruang untuk masuk. Hibah, insentif, tiket jalan jalan keluar negeri, dan tawaran-tawaran mirip itu akan kehilangan daya tariknya. Sebab kita tak menjual diri.

Wajib Terikat dengan Syari'ah

Allah SWT menegaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 120: “Sungguh petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi Pelindung dan Penolongmu.” Termasuk ayat yang hingga hari ini belum dinasakh —dicabut ketentuannya— oleh Allah.

Hari ini, kita harus berhenti mengukur segalanya dari sisi materi. Tidak salah mendapatkan manfaat duniawi. Tapi menjadikannya sebagai tujuan utama adalah kehancuran. Sebab saat itu terjadi, kita tak lagi mengabdi, tapi sedang menjual diri pada sistem yang tak pernah peduli pada Islam. Firman Allah :

"Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah" (QS Hud [11]: 6).7

Dikuatkan pula oleh Hadis Nabi SAW.

"Andai kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang" (THR Ibnu Majah, Ahmad dan al-Hakim).

Kehancuran Islam tinggal menunggu waktu seiring pemudanya perlahan menjadi nir-edukasi. Karena pemuda adalah pilar peradaban. Sudah saatnya narasi ini kita hambat untuk kemudian hancur berkeping keping.

Wallahu a'lam bish shawab.

Penulis lepas di LamuriOnline dan Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top