Sebagai salah satu universitas terkemuka, Universiti of Malaya (UM) - Malaysia terdiri dari beragam komunitas dengan berbagai warna identitas khas yang dibawa dari negaranya masing-masing, mayoritasnya berasal dari India, China dan bangsa Melayu sendiri. Pluralitas tersebut menjadikan UM semakin “hidup” dan menarik dalam sebuah bingkai kehidupan kampus yang harmonis. Hemat penulis, salah satu hal yang menarik dan patut diteladani adalah upaya masing-masing komunitas tersebut untuk mempertahankan identitas kedaerahannya, di sisi lainnya mereka tetap bangga terhadap identitas yang melekat tersebut. Malaysia sebagai tuan rumah misalnya, salah satu identitas yang sering diperkenalkan adalah cara dan ciri berpakaiannya. 

Dalam keseharian aktifitas kampusnya, mayoritas mereka tetap berkebaya dengan warna mengkilat serta kerudung memanjang bagi muslimah. Sedangkan prianya memakai pakaian melayu yang kadang dibalut ikatan songket. Begitu juga dengan identitas bahasa yang digunakan, meski mampu berbahasa Inggris, mereka tetap bangga berkomunikasi Melayu dalam kesehariannya. Tidak kalah menariknya pergerakan komunitas China dalam memperkenalkan identitasnya, biasanya mereka menggunakan pakaian yang agak “mini” serta tetap mempertahankan bahasa Mandarinya dalam berkomunikasi, setidaknya sesama komunitas sendiri. Bahkan jarang terdengar di antara mereka berkomunikasi dengan bahasa lainnya. Bahkan di beberapa sudut kampus, mereka tempel slogan-slogan berbahasa Mandarin. Identitas-identitas yang dimunculkan tersebut menjadikan UM nampak ter-China-kan dengan sendirinya. India, komunitas ini tergolong unik dan ramai, untuk mengenalnya dapat dilihat dari pakaian tradisional (Punjabi) yang sering digunakan sebagai pakaian sehari-harinya di kampus. Biasanya lengkap dengan aksesori yang berwarna-warni, bajunya panjang hingga ke lutut dan selempang yang dipakai atau disangkutkan di lehernya. 

Satu lagi mereka selalu menggunakan titik merah di dahinya atau biasa disebut “bindi” bagi wanita. Singkatnya, mereka semua ingin mempertahakan identitas-identitas kedaerahannya sebagai warisan nenek moyang di tengah-tengah perang identitas yang beragam dan bermacam di University of Malaya (UM), serta di sisi lainnya bangga terhadap identitasnya masing-masing. Dalam bus, suatu kali saya sempat bertanya kepada pelajar dari India, “kenapa sering memakai pakaian tradisional dalam banyak aktivitas kampus? Kemudian dengan singkat ia menjawab, “We respect with your identity, but this is our identities and we pround with our identities”. Jawaban ini tentu menjadi poin penting bagi kita semua bahwa Aceh juga memiliki identitas yang unik dan khas, sehingga dalam konteks dan kondisi yang memungkinkan, identitas tersebut harus tetap dipertahankan serta “pede” dengan identitas ke-Acehan yang kita miliki. Wallahu a’lam 

Penulis adalah Alumni Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Penerima Beasiswa LPSDMA Aceh 2013, sekarang sedang menempuh penidikan sebagai mahasiswa Postgraduate API-UM, Malaysia.    
SHARE :
 
Top