Dialog di Serambi Masjid
bersama Abu Muhammad, tetap saja mengemuka masalah-masalah tauhid, padahal
topik sore itu: bagaimana gerakan baca Alquran dapat kita tingkatkan menjadi
gerakan memahami Alquran. “Abu, anak-anak kita tak cukup hanya terampil membaca
dan melagukan Alquran. Tak cukup juara MTQ dan Festival Anak Shalih. Maka harus
kita pikirkan caranya.”
Menurut Abu Muhammad, caranya kita
mulai dengan pembenahan tauhid. Ini hal mendasar. Kita giatkan pengajian tauhid
dalam masyarakat, sebab apabila tauhid telah benar dan bersih, memudahkan kita
menggerakkan masyarakat mengurus program dan kegiatan lainnya. Misalnya belajar
bahasa Arab dan menghafal Alquran. Tauhid adalah energi. Tanpa tauhid hidup
kita tak bergairah.
Saya garis bawahi kalimat abu:
belajar bahasa Arab dan menghafal Alquran. Ini modal dasar dan kunci membangun
gerakan memahami Alquran. Bagaimana mungkin kita dapat menerjemahkan dan menafsirkan
Alquran, apabali tak menguasai bahasa Arab dengan baik. Kekuatan mufassir (ahli
tafsir) adalah menghafal Alquran. “Bukankah ini pekerjaan besar, Abu?” “Sama
besarnya dengan gagasan memahami Alquran. Masalahnya kita mulai dari mana,”
kata Abu Muhammad.
Dia berpikir bagaimana
menyiapkan generasi baru yang bersih tauhid, menguasai bahasa Arab, hafal
Alquran dan kemudian menjadi da’i dalam masyarakat. Dengan cara ini perubahan
dapat dilakukan. Sejumlah kader da’i sejak lama telah dia siapkan, sebagian
pernah belajar pada ma’had (dayah/pesantren) di Sulawesi Selatan dan pulau Jawa.
Ada banyak da’i yang dia bina sedang berbakti di medan dakwah.
“Lalu, abu, bagaimana kita
bangun kebiasaan masyarakat supaya gemar membaca terjemah dan tafsir Alquran?”
Untuk ini, katanya, perlu dukungan dan fasilitasi pemerintah, sebab masyarakat
tak sanggup membeli Alquran terjemahan, apalagi kitab/buku tafsir. Mahal.
Pemerintah dapat menyediakan Alquran terjemahan untuk setiap masjid, meunasah dan
balai pengajian di seluruh Aceh. Dengan cara ini, masyarakat akan memulai
membaca arti dan kandungan Alquran.
Tentu saja berbeda dengan kaum
menengah dan profesional muslim. Mereka mampu membeli sendiri berbagai model
Alquran dan terjemahannya, dan buku tafsir. Abu Muhammad ternyata mengetahui
sebagian masyarakat menengah kota mulai suka membeli buku-buku yang terkait
dengan studi Alquran, Alquran terjemah dan tafsir. “Saya menyaksikan beberapa
keluarga biasa baca tafsir Alquran selepas shalat maghrib,” katanya.
Karena itu, Abu Muhammad yakin masyarakat Aceh akan
terus berubah ke arah yang lebih baik, sebab negeri ini telah memiliki semangat
yang tinggi melaksanakaan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Dan,
sumber utama syariah adalah Alquran. Maka kita harus membaca, memahami dan
mengamalkannya. Kesimpulan kami sore itu: kita harus lebih giat lagi
kampanyekan kesadaran belajar bahasa Arab dan tahfidz Alquran. Inilah kunci
memahami Alquran.
0 facebook:
Post a Comment