Oleh Sri Suyanta Harsa

Ilustrasi
Muhasabah 17 Muharam 1441
Saudaraku, ketika membaca nasihat Ali bin Abi Thalib yang berisi agar umat Islam gemar mengikat ilmu dengan menulis, saya teringat catatan lama tentang persentase penahaman para pebelajar. Lazimnya pengamalan terhadap ilmu akan menyempurnakan pemahaman. Makanya ada semacam ungkapan bahwa suatu informasi tentang ilmu bila hanya kita dengar atau kita baca, maka ia akan cepat lupa, bila kita dengar dan lihat maka kita ingat, bila kita ikat dalam tulisan maka kita akan paham, dan ketika kita praktikkan dalam kehidupan maka kita menjadi lebih bijak.

Ungkapan senada lainnya adalah penyediaan pengalaman belajar yang berlaku umum terhadap informasi atau ilmu yang kita baca hanya sepuluh persen saja yang bisa melekat, dari apa yang kita dengar mencapai 20%, dari apa yang kita lihat bisa 30%, dari apa yang kita baca/dengar dan tulis 50%, dari apa yang kita share/ajarkan ilmu itu kepada orang lain 70%  dan dari apa yang kita amalkan menjadi lebih mendekati kesempurnaan pemahaman atau bahkan kearifan.

Oleh karena itu betapa pentingnya proses belajar dan mencari ilmu, betapa pentingnya ilmu pengetahuan yang dibaca, ditulis dan diajarkan, serta betapa pentingnya ilmu yang diamalshalihkan. Betapa pentingnya semua itu dilakukan dengan ikhlas mengharap ridha Allah ta'ala..

Rupanya pesan berantai ini dapat ditelusuri pada normativitas Islam. Misalnya tuntunan untuk menulis apapun ilmu yang kita ketahui adalah berasal dari sabda Nabi Muhammad saw, qayyidu 'ilma bil-kitabah, ikatlah ilmu dengan tulisan. Dan pesan ini juga sering diulang disampaikan oleh para ulama kemudian seperti yang dilakukan oleh para imam mazhab.

Tuntutan berikutnya adalah mengajarkannya pada sesama, meskipun hanya satu ayat sekalipun. Begitu pesan Rasulullah saw. Seiring dengan mengajarkannya pada orang lain, tuntunan mengamalkan ilmu itu bagi diri sendiri menjadi keniscayaan, sehingga ilmu amaliah dan ilmu juga ilmiah. 

Realitas yang lazim dialami oleh setiap kita, bahwa pencerapan panca indera kita berupa pengetahuan baik hasil dari melihat, membaca, mendengar, maupun merasakan akan segera menjadi ilmu saat informasi itu teruji secara teoretik akan kebenarannya. Ilmu pengetahuan yang sudah diketahui akan lebih dikuasainya ketika diikat dalam tulisan bermakna. Apalagi ilmu pengetahuan yang berupa kebaikan yang dapat diamalkan, dan informasi berupa keburukan yang harus ditinggalkan, sehingga ilmu pengetahuan akan segera meningkat menjadi hikmah atau kearifan saat mana dengannya kita berhasil lebih mendekatkan diri pada Allah ta'ala. 

Di sinilah pentingnya agar kontinuitas penguasaan akan ilmu yang dapat melahirkan sikap kedekatannya dengan Allah diikat dalam tulisan. Makanya menulis itu sejatinya bukan saja merangkai kata demi kata agar bermakna, tetapi mengikat ilmu itu sendiri agar tetap dalam jangkauan kita. Dan muaranya meraih kedekatan pada Allah ta'ala. Dengan demikian barometer penguasaan ilmu adalah taqarub ilallah, semakin dekat dengan Allah.

Secara subyektif, memang menulis itu tidak semudah yang dibayangkan, dan sebaliknya juga tidak sesulit yang dipikirkan. Ternyata, hanya dengan hidayah Allah saja menulis dapat dilakukan. Dengan demikian upaya menjemput hidayahNya yang tidak bisa ditunda-tunda. Di antaranya dengan berusaha taat kepadaNya, menghiasi diri dengan akhlak mulia, selalu dalam kondisi ada wudhuk, duduk takdhim (misalnya di atas sajadah) pada saat-saat yang mustajabah, sembari memasang niat lurus tidak untuk riya, siapkan sarana untuk menulis dan memulai dengan basmalah.

Di saat jari jemari menari menekan tombol-tombol key pad hand phone atau key pad komputer tentu dilatari oleh suasana batin yang sangat kompleks dari penulisnya. Makanya setiap tulisan memiliki genre khas yang menggambarkan suasana hati penulisnya dan sosiokultural yang mengitarinya. Di sinilah pentingnya mengakomodir setting sosial budaya dan hal ikhwal penulisnya dalam kajian biographi seseorang.

Nah ketika dianugrahi kemampuan merangkai kata mengikat makna dan dianugrahi pemahaman yang membaik, sehingga mengantarkannya pada kedekatan dirinya dengan Rabbnya, maka kita layak disyukurinya baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata.

Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa tingkat pemahaman merupakan karunia Allah atas makhlukNya didasarkan atas kemahaadilan dan kebijakanNya yang sempurna sehingga menjadi ketetapanNya mengikat, siapapun tidak akan pernah melampaui atau mengurangi apapun ketetapan Allah atas hambaNya.

Kedua, mensyukuri dengan terus memujiNya dan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin, semoga Allah menganugrahi kita pemahaman atas ajaranNya.

Ketiga, mensyukuri dengan tindakan nyata yaitu berusaha menjadi orang cerdas dan adil sehingga dapat belajar dan belajar sehingga pemahanan ke atas ajaranNya terus menjadi lebih baik.

Maka dzikir pengkodisian hati dan penyejuk kalbu guna menjemput hidayahNya adalah membasahi lisan dengan ya Allah ya 'Alim ya Haadiy, ya Allah zat yang maha mengetahui, tunjukilah kami ke atas ridhaMu ya Rabb.
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top