Oleh Sri Suyanta Harsa

Ilustrasi
Muhasabah 28 Muharam 1441
Catatan Ke-4 di RSTF
Saudaraku, dalam forum muhasabah ini pernah dikatakan bahwa bahasa adalah kesepakatan. Lazimnya untuk mengekspresikan sesuatu, setiap makhluk memiliki cara dan bahasa yang khas sehingga beragam. Manusia sepertinya pengguna bahasa yang paling kreatif: bisa dan biasa menggunakan bahasa verbal, juga isyarat, bahkan bahasa tubuh.

Untuk bahasa verbalpun, aneka ungkapan disampaikan sesuai dengan kesepakatan, zauq, rasa bahasa masing-masing kearifan lokalnya. Ungkapan atau kata yang sama bisa bermakna berbeda bahkan seperti bumi dan langit. Kata ''nggih'' misalnya, masyarakat Jawa mengucapkannya untuk mengiyakan sesuatu biasanya disertai dengan anggukan kepala, tetapi masyarakat Gayo di Aceh justru untuk menidakkan yang biasanya juga diikuti gelengan kepala. 

Kata lain yang rada ''mengusik'' adalah kata ''khalwat''. Pada pelajaran sejarah Islam kata khalwat itu dipahami positif, yaitu serangkaian aktivitas mengasingkan diri juga dikenal dengan bertanuts yang dilakukan Muhammad saw menjelang usia 40 tahun ke Gua Hira'. Hal ini dilakukan untuk membebaskan diri dari segala kebatilan kaum kafir quraisy saat itu dan berkomtemplasi mencari solusi. Nantinya kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad al-Amin sebagai tanda bi'tsah kenabiannya.

Namun kata ''khalwat'' oleh masyarakat Aceh sebagaimana Qanun No. 14 tahun 2003 dan No. 6 tahun 2014 dipahami negatif yaitu mesum.  Berikut contoh yang saya copy paste dari ABADAILY.COM – Kasus pelanggaran syariat Islam di Banda Aceh pada bidang khalwat meningkat dari tahun 2014 ke tahun 2015. Di tahun 2014, jumlah pelanggar qanun khalwat ialah 115 orang, sedangkan jumlah pelanggar qanun khalwat atau mesum di 2015 mencapai 121 orang. Hal ini dikatakan Kepala Satuan Wilayatul Hisbah (WH) Banda Aceh Yusnadi melalui Seksi Penegakan Peraturan Perundang–undangan dan Syariat Islam Evendi di kantor WH Banda Aceh, Rabu (23/12/2015). Peraturan tentang khalwat atau mesum tertuang dalam qanun Nomor 14 tahun 2003 dan qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat bidang khalwat (pasal 23), ikhtilath (pasal 25-27).

Data Diskominfo tahun 2018 bahwa kasus pelanggaran perda Qanun Syariat di Kota Banda Aceh sampai dengan November sebanyak 230 kasus. Di antaranya pelanggaran syiar (busana, perilaku) sebanyak 77 kasus, khalwat 77 kasus, ikhtilath 58 kasus, khamar 2 kasus, Maisir 2 kasus, liwath 13 kasus serta pelecehan seksual sebanyak 1 kasus.

Kata-kata khalwat khususnya di Aceh kemudian dipahami berbeda dengan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.

Akhir-akhir ini, kita juga dihadapkan pada makna bahasa atau kata yang mengusik coriosity atau keingintahuan kita, seperti apa sih yang dimaksudkan dengan korupsi dan memperkosa istri. 

Selama ini korupsi secara populis dipahami sebagai tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan (Kompasiana). Dari batasan ini, korupsi merupakan tindak kejahatan, namun ketika dipahami sebagai perbedaan cara mencari dan memperoleh rezeki, maka bisa bermakna sebaliknya, biasa atau bahkan baik. Bila pemahaman pertama yaitu korupsi sebagai tindak kejahatan tentu berkonsekuensi hukum, maka harus dicegah jangan sampai ada yang melakukannya. Seluruh elemen dituntut berkontribusi dalam memerangi atsu meminimalisir tindak korupsi. Tetapi bila diikuti makna kedua, maka bisa saja terjadi sebaliknya. Allahu a'lam.

Demikian juga makna memperkosa istri sendiri. Apa definisi operasinalnya? Seperti apa indikator perbuatan yang dapat dikategorikan pada perilaku perkosaan sehingga bisa diancam kurungan. Karena perilaku hubungan intim suami istri bisa beragam praktiknya. Kalau didasarkan pada pengaduan dari si istri? Wah, ini kan menjadi sangat mempribadi dan unsur subyektivitasnya sangati tinggi. Misalnya saat nafkah lahirnya yang diberikan suami dinilai kurang oleh istri, bisa-bisa berpengaruh pada layanan pada nafkah batinnya lalu menolaknya dan .. entahlah. Allahu a'lam

Makna apapun yang diikuti tentu konsekuensi baik dalam kacamamata Islam atau regulasi lainnya. Dengan demikian bahasa dan tutur kata yang digunakan secara konsensus harus dipahami benar atau salah, sopan atau tidaknya karena dapat mencerminkan kepribadian seseorang atau bangsanya. Bahasa mencerminkan kepribadian karena dari segi gaya dan intonasi saat berbicara, baik dengan lirih, lembut, biasa-biasa saja maupun keras, kasar dan meledak-ledak lazimnya menyertakan ekspresi  lahiriah penggunanya. Di samping itu, dari segi kualitas pesan atau isi bahasa dan tutur kata yang digunakannya.

Oleh karenanya ketika bahasa mencerminkan kepribadian mulia yang digunakan dalam hidup keseharian kita, maka layak kita mensyukurinya baik dengan hati, lisan maupun tindakan nyata.

Pertama, mensyukuri bahasa di hati dengan meyakini bahwa bahasa merupakan ekspresi jiwa pemakainya.

Kedua, mensyukuri bahasa di lisan dengan melafalkan alhamdu lillahi rabbil 'alamin. Dengan memujiNya, semoga Allah mengaruniai kita kemampuan berbahasa yang beretika.

Ketiga, mensyukuri bahasa dengan tindakan konkret, yakni menggunakan bahasa sesuai peruntukannya dengan tetap menjaga etikanya.
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top